Jakarta – Hukum Islam mengatur tata cara penyucian diri, salah satunya mandi junub yang diwajibkan setelah keluarnya air mani. Namun, pemahaman yang tepat tentang perbedaan antara air mani (mani) dan madzi, serta implikasinya terhadap hukum Islam, seringkali menjadi pertanyaan bagi kaum pria Muslim. Artikel ini akan menguraikan secara rinci perbedaan kedua cairan tersebut, hukumnya menurut berbagai mazhab, dan kondisi-kondisi yang mewajibkan mandi junub.
Membedah Perbedaan Air Mani dan Madzi
Air mani dan madzi merupakan dua jenis cairan yang keluar dari kemaluan pria, namun keduanya memiliki karakteristik yang membedakannya secara signifikan, baik dari segi komposisi maupun hukumnya dalam Islam. Perbedaan mendasar terletak pada proses keluarnya dan sensasi yang menyertainya.
Mengacu pada kitab Taudhihul Adillah karya KH. M. Syafi’i Hadzami, air mani didefinisikan sebagai cairan yang keluar dari kemaluan disertai dengan kenikmatan atau kepuasan seksual yang kuat. Ciri khasnya adalah sensasi nikmat yang dirasakan saat keluarnya cairan tersebut, serta aroma yang seringkali diumpamakan seperti bau mayang kurma atau adonan tepung gandum. Ini menunjukkan adanya orgasme atau klimaks seksual yang menjadi pembeda utama dengan madzi.
Berbeda dengan air mani, madzi merupakan cairan putih encer yang keluar tanpa disertai syahwat yang kuat. Madzi biasanya muncul pada tahap awal rangsangan seksual (foreplay) sebelum mencapai orgasme. Keluarnya madzi terkadang tidak disadari oleh individu yang bersangkutan, karena prosesnya lebih halus dan tidak menimbulkan sensasi yang mencolok seperti air mani.
Selain air mani dan madzi, terdapat pula air wadi. Cairan ini memiliki karakteristik keruh dan kental, dan umumnya keluar setelah buang air kecil atau setelah melakukan aktivitas fisik yang berat, seperti mengangkat beban. Air wadi berbeda dengan air mani dan madzi, dan hukumnya pun berbeda.
Hukum Air Mani: Perbedaan Pendapat Mazhab
Hukum mengenai kesucian atau najisnya air mani telah menjadi perdebatan di kalangan ulama. Jumhur ulama (mayoritas ulama), termasuk mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, berpendapat bahwa air mani hukumnya najis. Pendapat ini didukung oleh beberapa hadits sahih. Salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah RA, yang menceritakan bagaimana beliau mencuci bekas air mani Rasulullah SAW yang mengering di pakaian beliau, lalu Rasulullah SAW tetap melaksanakan salat. Hadits ini menunjukkan bahwa air mani dianggap najis dan perlu dibersihkan sebelum melaksanakan salat.
Hadits lain dari Abu Hurairah RA juga menyebutkan fatwa beliau terkait pencucian bekas air mani. Jika terlihat, cukup mencuci bagian yang terkena; namun jika tidak terlihat, maka seluruh pakaian perlu dicuci. Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib RA juga berpendapat bahwa air mani najis, menyamakannya dengan air kencing. Mazhab Maliki berpendapat bahwa air mani najis karena asalnya adalah darah, yang hukumnya najis, meskipun telah mengalami perubahan wujud (istihalah).
Namun, mazhab Syafi’i memiliki pandangan berbeda. Mazhab ini menyatakan bahwa semua cairan yang keluar dari kemaluan, baik depan maupun belakang, pada dasarnya najis, kecuali air mani dan turunannya. Pendapat ini didasarkan pada riwayat dari Ibnu Abbas RA, yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW menganggap air mani seperti dahak atau lendir, cukup dibersihkan dengan mengelapnya.
Perbedaan pendapat ini menunjukkan kompleksitas hukum Islam dan pentingnya memahami berbagai perspektif mazhab dalam menafsirkan nash (teks) agama. Pemahaman yang komprehensif memerlukan kajian mendalam terhadap berbagai sumber hukum Islam.
Sayyid Sabiq dan Hukum Air Mani: Kajian Lebih Lanjut
Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah memberikan penjelasan lebih rinci mengenai hukum air mani dalam berbagai kondisi:
-
Air mani yang keluar bukan karena syahwat: Jika air mani keluar karena sakit atau cuaca dingin, maka tidak mewajibkan mandi besar. Hadits dari Ali bin Abi Thalib RA menyebutkan bahwa mandi wajib hanya diwajibkan jika air mani keluar karena syahwat yang kuat.
-
Mimpi basah tanpa cairan: Jika seseorang mimpi basah tetapi tidak ada cairan yang keluar, maka ia tidak wajib mandi. Ini merupakan kesepakatan para ulama fikih. Namun, jika air mani keluar setelah bangun tidur, maka mandi wajib tetap diwajibkan.
-
Cairan yang tidak pasti: Jika seseorang terbangun dan menemukan cairan tetapi tidak yakin apakah itu mani atau bukan, maka sebaiknya ia mandi. Keraguan tidak menghapus keyakinan awal akan kesucian.
-
Menahan air mani: Jika seseorang merasakan getaran syahwat dan aliran air mani yang akan keluar, lalu menahannya hingga tidak keluar, maka ia tidak wajib mandi.
-
Cairan mani di pakaian: Jika seseorang menemukan cairan mani di pakaiannya tanpa mengetahui asal usulnya, dan telah melaksanakan salat, maka ia wajib mengulangi salatnya.
Kondisi yang Mewajibkan Mandi Junub
Selain keluarnya air mani karena syahwat, beberapa kondisi lain mewajibkan mandi junub bagi laki-laki Muslim, seperti yang dijelaskan dalam Fiqih Sunnah Jilid 1 karya Sayyid Sabiq:
-
Keluarnya mani karena syahwat: Ini merupakan kondisi yang paling umum dan telah dijelaskan sebelumnya.
-
Senggama (jima’): Senggama, yaitu masuknya penis ke dalam vagina, mewajibkan mandi junub, meskipun tidak sampai orgasme (keluarnya air mani). Ayat Al-Maidah ayat 6 dan pendapat Imam Syafi’i menegaskan hal ini. Bahkan, hadits dari Abu Hurairah RA menyebutkan bahwa senggama, meskipun tanpa orgasme, tetap mewajibkan mandi junub.
-
Kematian: Jenazah muslim wajib dimandikan sebagai bagian dari ritual pengurusan jenazah.
-
Muallaf (kafir yang masuk Islam): Seperti kisah Tsumamah al-Hanafi yang masuk Islam dan diperintahkan mandi sebelum salat, menunjukkan bahwa masuk Islam juga mewajibkan mandi junub sebagai simbol penyucian diri dari keadaan sebelumnya.
Kesimpulannya, pemahaman yang benar tentang perbedaan air mani dan madzi, serta kondisi yang mewajibkan mandi junub, sangat penting bagi kaum pria Muslim untuk menjalankan ibadah dengan benar. Perbedaan pendapat di antara mazhab menunjukkan perlunya kajian mendalam dan rujukan kepada ulama yang berkompeten untuk memastikan praktik keagamaan yang sesuai dengan ajaran Islam. Artikel ini hanya sebagai informasi umum dan tidak menggantikan konsultasi dengan ulama atau ahli fikih.