Jakarta – Sejarah peradaban manusia menyimpan berbagai kisah inspiratif sekaligus menjadi pelajaran berharga. Salah satu kisah yang sarat makna dan relevansi hingga kini adalah kisah Bani Israil, umat pilihan Allah SWT, yang menerima anugerah luar biasa berupa manna dan salwa, namun kemudian menyia-nyiakannya. Kisah ini bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan cerminan sifat manusia yang kerap lalai dan ingkar terhadap nikmat Tuhan. Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Qur’an dan berbagai literatur keagamaan, menjadi studi kasus tentang kesombongan, ketidakpuasan, dan konsekuensi dari pengingkaran terhadap rahmat Ilahi.
Setelah peristiwa pembebasan dari perbudakan di Mesir dan pelarian dramatis yang dipimpin Nabi Musa AS, Bani Israil menghadapi tantangan berat: bertahan hidup di padang pasir Sinai yang tandus dan gersang. Perjalanan panjang dan melelahkan diiringi kejaran Firaun dan pasukannya, yang akhirnya tenggelam di Laut Merah setelah Nabi Musa AS memukulkan tongkatnya, menciptakan keajaiban pembelahan laut. Keajaiban ini seharusnya menjadi momentum sujud syukur yang mendalam bagi Bani Israil atas penyelamatan dan pertolongan Allah SWT yang maha kuasa.
Namun, seperti yang dijelaskan Hamid Ahmad Ath-Thahir dalam buku "Kisah-kisah dalam Al-Qur’an untuk Anak", ketika Nabi Musa AS memerintahkan mereka untuk bersujud syukur, tanggapan Bani Israil mengejutkan. Kelelahan fisik menjadi alasan mereka menolak perintah tersebut. Mereka berkata, "Sesungguhnya kami letih, wahai Musa. Kami tidak akan sujud sekarang." Pernyataan ini mengungkapkan kecenderungan Bani Israil untuk mengutamakan kepentingan duniawi, keinginan sesaat, di atas rasa syukur dan ketaatan kepada Allah. Sikap ini, menurut berbagai penafsiran, merupakan ciri khas yang terus berulang dalam sejarah mereka, menunjukkan pola perilaku yang mengingkari karunia Tuhan.
Lebih lanjut, perjalanan Bani Israil di padang pasir juga diwarnai dengan permintaan yang menunjukkan kekurangan iman dan rasa syukur. Mereka bertemu dengan suatu kaum yang menyembah berhala, dan dengan lancang meminta Nabi Musa AS untuk membuatkan berhala serupa bagi mereka. Permintaan ini menunjukkan kehilangan arah spiritual dan kecenderungan untuk meniru kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran tauhid. Kejadian ini menunjukkan betapa mudahnya manusia tergoda oleh kebiasaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan jika iman dan keteguhan hati tidak kuat.
Di tengah kesulitan hidup di padang pasir, Allah SWT menunjukkan kemahakuasaan-Nya dengan menganugerahkan manna dan salwa, dua jenis makanan yang sangat nikmat dan mencukupi kebutuhan mereka. Manna, dijelaskan dalam berbagai kitab tafsir, adalah makanan berbentuk seperti embun atau kristal putih yang jatuh di pagi hari, memiliki rasa manis dan bergizi tinggi. Sementara salwa adalah burung puyuh yang diberikan Allah SWT dalam jumlah yang melimpah. Kedua anugerah ini merupakan tanda kebesaran Allah dan bukti nyata pertolongan-Nya bagi Bani Israil.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 7, Allah SWT berfirman: "Dan (ingatlah) ketika Kami menaungi kamu dengan awan dan Kami menurunkan kepadamu manna dan salwa. Makanlah (makanan) yang baik-baik dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu. Mereka tidak menzalimi Kami, tetapi justru merekalah yang menzalimi diri sendiri." Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa manna dan salwa adalah karunia Allah yang harus disyukuri. Namun, Bani Israil justru tidak menghargai anugerah tersebut. Mereka tidak bersyukur atas kemudahan yang diberikan Allah, bahkan mereka menzalimi diri sendiri dengan sikap ingkar dan tidak puas.
Abdullah bin Muhammad As-Saleh Al-Mu’taz dalam buku "Pelajaran Hidup dari Kisah-kisah Musa" menekankan bahwa mengkonsumsi manna dan salwa merupakan bentuk syukur kepada Allah. Dengan mudah mendapatkan makanan yang berkualitas tinggi dan melimpah, seharusnya Bani Israil lebih menghargai dan bersyukur kepada Allah. Namun, ketidakpuasan dan keinginan akan kemewahan duniawi membutakan mata hati mereka.
Allah SWT juga memberikan jaminan kehidupan bagi Bani Israil di padang pasir melalui firman-Nya dalam surat Thaha ayat 80: "Wahai Bani Israil, sungguh Kami telah menyelamatkanmu dari musuhmu, mengadakan perjanjian denganmu (untuk bermunajat) di sebelah kanan gunung itu (gunung Sinai), dan menurunkan kepadamu manna dan salwa." Ayat ini menegaskan bahwa manna dan salwa merupakan bagian dari perjanjian Allah dengan Bani Israil, sebuah bukti nyata janji dan pertolongan-Nya. Namun, janji dan pertolongan itu disambut dengan ketidakpuasan dan keingkaran.
Imam Ibnu Katsir dalam "Kisah Para Nabi" memberikan gambaran lebih detail tentang manna dan salwa. Manna digambarkan sebagai cairan putih seperti madu, jatuh seperti embun kristal di atas daun-daun. Rasanya manis dan menyegarkan. Salwa adalah burung puyuh yang berlimpah dan mudah didapatkan. Allah SWT memberikan makanan yang sangat baik dan melimpah tanpa perlu bersusah payah mencarinya. Namun, Bani Israil justru tidak puas.
Ketidakpuasan Bani Israil terungkap dalam permintaan mereka kepada Nabi Musa AS untuk meminta makanan lain kepada Allah. Mereka ingin makanan yang lebih beragam, seperti bawang merah, bawang putih, mentimun, dan kacang adas. Permintaan ini menunjukkan ketidakpuasan mereka terhadap nikmat yang telah diberikan Allah, bahkan mereka meminta makanan yang kualitasnya lebih rendah dibandingkan manna dan salwa.
Surat Al-Baqarah ayat 61 menceritakan permintaan tersebut dan konsekuensinya: "(Ingatlah) ketika kamu berkata, "Wahai Musa, kami tidak tahan hanya (makan) dengan satu macam makanan. Maka, mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia memberi kami apa yang ditumbuhkan bumi, seperti sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang adas, dan bawang merah." Dia (Musa) menjawab, "Apakah kamu meminta sesuatu yang buruk sebagai ganti dari sesuatu yang baik? Pergilah ke suatu kota. Pasti kamu akan memperoleh apa yang kamu minta." Kemudian, mereka ditimpa kenistaan dan kemiskinan, dan mereka (kembali) mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena sesungguhnya mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak (alasan yang benar). Yang demikian itu ditimpakan karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas."
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT tidak melarang Bani Israil untuk meminta rezeki lain, namun permintaan mereka dilakukan dengan sikap yang salah, yaitu dengan tidak menghargai nikmat yang telah diberikan. Akibatnya, mereka mendapatkan hukuman dari Allah SWT berupa kenistaan dan kemiskinan. Kisah ini mengajarkan kita pentingnya bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan Allah, dan menghindari sikap ingkar dan tidak puas.
Kesimpulannya, kisah Bani Israil dan manna serta salwa merupakan pelajaran berharga tentang pentingnya syukur dan ketaatan kepada Allah. Ketidakpuasan dan keingkaran mereka terhadap nikmat yang telah diberikan mengakibatkan konsekuensi yang buruk. Kisah ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk selalu bersyukur atas segala karunia Allah dan menghindari sikap sombong, ingkar, dan tidak puas dengan apa yang telah diberikan. Semoga kisah ini dapat menjadi inspirasi bagi kita untuk lebih menghargai dan menjaga nikmat Tuhan serta menjalani hidup dengan penuh syukur dan ketaatan.