Indonesia, negeri dengan beragam lapisan masyarakat, menyaksikan kontras yang mencolok. Di satu sisi, sebagian kecil masyarakat hidup dalam kemewahan yang mencengangkan, memamerkan kekayaan melalui kendaraan mewah, perhiasan, dan bahkan liburan dengan jet pribadi. Di sisi lain, mayoritas penduduk masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: sejauh mana batas kepemilikan yang dibenarkan, dan bagaimana sikap kita terhadap keserakahan yang menggerogoti jiwa?
Ayat suci Al-Quran telah lama memperingatkan bahaya pamer kekayaan dan hidup berlebih-lebihan. Surah Al-Takatsur ayat 1, "Berbangga-bangga dalam memperbanyak (dunia) telah melalaikanmu," merupakan teguran keras bagi mereka yang terlena oleh gemerlap duniawi. Ayat ini bukan sekadar larangan terhadap kekayaan itu sendiri, melainkan kecaman terhadap sikap hati yang terkungkung oleh ambisi mengumpulkan harta dan kedudukan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan. Manusia terjebak dalam perlombaan tak berujung, asyik dengan pamer kekayaan dan status sosial, hingga melupakan amal perbuatan yang sesungguhnya lebih bernilai di sisi Tuhan. Mereka terlena oleh pujian dan sanjungan, tanpa menyadari betapa rapuhnya kenikmatan duniawi yang bersifat sementara.
Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim semakin memperjelas hal ini: "Anak Adam berkata, ‘Inilah harta saya, inilah harta saya.’ Nabi bersabda, ‘Wahai anak Adam! Engkau tidak memiliki dari hartamu kecuali apa yang engkau makan dan telah engkau habiskan, atau pakaian yang engkau pakai hingga lapuk, atau yang telah kamu sedekahkan sampai habis.’" Hadits ini menekankan bahwa kepemilikan sejati bukanlah sekadar penguasaan materi, melainkan pemanfaatan harta untuk kebutuhan hidup yang wajar dan amal saleh. Harta yang ditumpuk tanpa dibagi dan dimanfaatkan untuk kebaikan hanya akan menjadi beban di akhirat.
Para ahli tafsir menambahkan bahwa ayat Al-Takatsur juga menyoroti bahaya kesombongan dan sikap berlebih-lebihan dalam mengejar kekayaan. Upaya untuk memiliki lebih banyak dari orang lain, semata-mata untuk mencapai status dan kebanggaan, tanpa diiringi niat baik dan amal saleh, merupakan tindakan yang tercela. Kehidupan dunia, menurut Al-Quran, hanyalah "permainan dan sendau gurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan," yang pada akhirnya akan sirna seperti tanaman yang layu dan mengering. Ayat selanjutnya, "Sampai kamu masuk ke dalam kubur," mengingatkan kita akan kefanaan dunia dan pentingnya mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat.
Larangan hidup berlebih-lebihan dan pamer kekayaan bukanlah sekadar anjuran etis, melainkan perintah langsung dari Tuhan Yang Maha Esa. Kenikmatan sesaat di dunia tidak sebanding dengan kenikmatan abadi di akhirat. Sayangnya, keserakahan seringkali mengalahkan akal sehat dan nurani. Manusia terjerat dalam perangkap nafsu, rela melakukan tindakan yang melanggar norma agama dan moral demi meraih kekayaan, meskipun dalam hati kecilnya menyadari kesalahan tersebut.
Kisah Abu Yazid al-Busthami memberikan gambaran yang sangat mengena. Meskipun telah bertahun-tahun beribadah, ia merasa belum menemukan manisnya ibadah. Setelah menelusuri masa lalunya, ia menemukan akar masalahnya: Ibunya pernah memakan sepotong keju yang bukan haknya, meskipun hanya sedikit, saat ia masih dalam kandungan. Tindakan kecil yang tampaknya sepele ini ternyata memiliki dampak besar terhadap spiritualitasnya. Setelah ibunya meminta maaf dan meminta halal kepada pemilik keju, barulah Abu Yazid merasakan manisnya ibadah.
Kisah ini mengajarkan kita betapa pentingnya kejujuran dan keadilan, bahkan dalam hal-hal yang sekecil apapun. Bukan ukuran besar kecilnya yang diambil tanpa hak yang menjadi fokus, melainkan tindakan mengambil sesuatu yang bukan hak kita. Kita perlu melakukan muhasabah diri, merenungkan apakah kita pernah melakukan hal serupa, baik secara sadar maupun tidak. Jika pernah, segeralah bertaubat dan berjanji tidak mengulanginya. Kesadaran akan dosa dan pertobatan yang tulus merupakan langkah awal menuju perbaikan diri.
Dalam konteks Indonesia yang masih bergumul dengan berbagai masalah sosial ekonomi, fenomena pamer kekayaan semakin memprihatinkan. Ketimpangan ekonomi yang lebar menciptakan jurang pemisah yang semakin dalam antara kelompok kaya dan miskin. Pamer kekayaan bukan hanya menunjukkan kurangnya empati sosial, tetapi juga dapat memicu kecemburuan dan ketidakadilan. Sikap hidup sederhana dan berbagi dengan sesama menjadi penting untuk membangun masyarakat yang adil dan bermartabat.
Oleh karena itu, kita perlu kembali merenungkan makna hidup yang sebenarnya. Kekayaan materi bukanlah segalanya. Kebahagiaan sejati terletak pada kedekatan dengan Tuhan, kebaikan terhadap sesama, dan amal saleh yang bermanfaat bagi umat manusia. Marilah kita menghindari jebakan keserakahan dan hidup sederhana sesuai ajaran agama. Semoga Allah SWT. senantiasa membimbing kita untuk selalu berada di jalan yang benar dan menjauhkan kita dari godaan dunia yang fana. Semoga kita mampu membedakan mana yang hak dan mana yang batil, serta selalu berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan kejujuran. Semoga kita semua diberikan hidayah untuk selalu mensyukuri nikmat-Nya dan menggunakan harta benda yang dimiliki untuk kebaikan. Amin.