Jakarta – Surah Al-Isra, surah ke-17 dalam Al-Qur’an yang terdiri dari 111 ayat dan tergolong surah Makkiyyah (diturunkan di Makkah), menyimpan pesan mendalam tentang hukum sebab-akibat dalam kehidupan manusia. Ayat ketujuh surah ini, khususnya, menawarkan kajian yang kaya akan makna dan relevansi hingga saat ini, mengungkapkan bagaimana setiap perbuatan manusia, baik dan buruk, akan menuai balasannya. Ayat tersebut berbunyi:
(Teks Arab dan Latin di sini, diikuti terjemahan yang akurat dan lugas)
Terjemahan yang lazim digunakan berbunyi kurang lebih: "Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu telah berbuat baik untuk dirimu sendiri. Jika kamu berbuat jahat, (kerugian dari kejahatan) itu kembali kepada dirimu sendiri. Apabila datang saat (kerusakan) yang kedua, (kami bangkitkan musuhmu) untuk menyuramkan wajahmu, untuk memasuki masjid (Baitulmaqdis) sebagaimana memasukinya ketika pertama kali, dan untuk membinasakan apa saja yang mereka kuasai."
Ayat ini, dalam tafsirnya, menawarkan perspektif yang komprehensif tentang konsekuensi perbuatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Tafsir Kementerian Agama Republik Indonesia, misalnya, menjelaskan bahwa kebaikan akan berbuah kebaikan pula, baik secara duniawi maupun ukhrawi. Di dunia, kebaikan akan menimbulkan kekuatan dan kesatuan umat, memungkinkan terwujudnya peradaban yang maju dan menjamin kelancaran ibadah dan kehidupan. Di akhirat, balasannya adalah surga dan kenikmatan abadi sebagai tanda ridha Allah SWT.
Sebaliknya, kejahatan dan kemaksiatan akan menimbulkan konsekuensi yang buruk, baik di dunia maupun akhirat. Di dunia, kejahatan akan mengakibatkan perpecahan, perselisihan, dan kemunduran peradaban. Umat yang melakukan kejahatan akan mudah terpecah belah, saling menindas, dan akhirnya menjadi lemah dan rentan terhadap ancaman dari luar. Mereka akan mudah terjajah dan tertunduk di bawah kekuasaan orang lain. Di akhirat, balasannya adalah siksa neraka yang pedih.
Tafsir Al-Azhar, melalui uraian Buya Hamka, menawarkan interpretasi yang lebih konkret mengenai ayat ini, menggunakan kisah Bani Israil sebagai studi kasus. Kisah ini menunjukkan bagaimana perbuatan jahat Bani Israil mengakibatkan kerusakan yang berlipat ganda dan mengarah pada kehancuran mereka sebagai sebuah bangsa.
Peristiwa pertama yang dipaparkan adalah tuduhan yang dialamatkan kepada Maryam, ibu Nabi Isa AS, yang mengatakan bahwa beliau mengandung tanpa suami. Tuduhan yang bersifat fitnah ini menunjukkan kebejatan moral Bani Israil dan keengganan mereka menerima tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Mereka menolak kesaksian Zakaria AS, seorang Rasul Allah dan penghulu Baitul Maqdis, yang menegaskan kesucian Maryam.
Peristiwa kedua yang lebih menonjol adalah penolakan Bani Israil terhadap dakwah Nabi Isa AS. Mereka tidak hanya menolak ajaran yang dibawa Nabi Isa AS, tetapi juga memfitnah beliau kepada penguasa Romawi hingga Nabi Isa AS disalibkan. Namun, Allah SWT menyelamatkan Nabi Isa AS dari kematian tersebut, dan yang disalibkan adalah Judas Iskariot, pengikut Nabi Isa AS yang mengkhianati beliau.
Meskipun Allah SWT telah menyelamatkan Nabi Isa AS, Bani Israil tetap berkeras mengatakan bahwa beliau telah disalibkan. Kebohongan dan keengganan mereka menerima kebenaran ini merupakan "kerusakan besar" yang pertama. Kejahatan ini kemudian berkembang menjadi perpecahan yang lebih besar. Beberapa pengikut Nabi Isa AS, karena kecintaan yang berlebihan, menganggap Nabi Isa AS sebagai Tuhan atau Anak Allah. Hal ini berbeda dengan ajaran asli Nabi Isa AS.
Kemudian, muncul Paulus, seorang Yahudi yang sebelumnya menganiaya pengikut Nabi Isa AS. Paulus kemudian mengklaim diangkat menjadi Rasul dan membawa ajaran yang berbeda, yakni ajaran Trinitas (tiga dalam satu). Ajaran ini menyatakan bahwa Tuhan itu bukan satu, tetapi tiga yang setara: Tuhan Bapa, Tuhan Putra (Isa Al-Masih), dan Roh Kudus. Ajaran ini merupakan "kerusakan besar" yang kedua, yang jauh lebih besar daripada yang pertama.
Ajaran Paulus ini kemudian menjadi dasar ajaran Kristen yang berkembang luas. Dengan dukungan kekuasaan Romawi, Kristen menjadi agama negara Romawi, dan Jerusalem berada di bawah kekuasaan Romawi-Kristen. Hal ini mengakibatkan penindasan terhadap orang-orang Yahudi, termasuk pengusiran dan penyiksaan. Kejayaan Bani Israel pun lenyap. Mereka terpecah belah dan tersebar ke berbagai penjuru dunia, sesuai dengan ancaman dalam Surah Al-Isra’ ayat 7.
Kesimpulannya, Surah Al-Isra ayat 7 memberikan gambaran yang jelas tentang hukum sebab-akibat dalam kehidupan. Setiap perbuatan akan mendapat balasannya. Kebaikan akan menimbulkan kebaikan, sedangkan kejahatan akan menimbulkan kejahatan dan kerusakan. Kisah Bani Israel menjadi bukti nyata bagaimana perbuatan jahat akan mengarah pada perpecahan, penindasan, dan akhirnya kehancuran. Ayat ini merupakan pengingat bagi setiap individu dan umat untuk selalu berbuat baik dan menjauhi kejahatan. Pesan ini tetap relevan dan bermakna hingga saat ini, mengajak umat manusia untuk merenungkan perbuatannya dan mencari ridha Allah SWT. Kejadian sejarah Bani Israel menjadi pelajaran berharga bagi generasi sekarang dan mendatang, agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dan senantiasa berusaha membangun peradaban yang adil dan berkeadilan berdasarkan nilai-nilai kebaikan dan ketuhanan.