Shalat, tiang agama Islam, terdiri dari rangkaian gerakan dan bacaan yang terstruktur, masing-masing mengandung makna dan hikmah mendalam. Salah satu tahapan penting yang kerap luput dari perhatian detail adalah i’tidal, gerakan berdiri tegak setelah ruku’, beserta bacaan yang menyertainya. Ketepatan dalam melaksanakan i’tidal, baik dari segi gerakan maupun bacaan, merupakan kunci kesempurnaan shalat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Artikel ini akan mengupas tuntas bacaan setelah ruku’, mencakup dua versi yang diajarkan Rasulullah SAW – versi pendek dan versi panjang – lengkap dengan transliterasi latin dan terjemahannya. Selain itu, akan dibahas pula tata cara gerakan i’tidal yang benar, termasuk perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait posisi tangan saat berdiri tegak setelah ruku’.
Bacaan Setelah Ruku’: Dua Versi yang Diajarkan Rasulullah SAW
Doa i’tidal, atau bacaan yang dibaca saat berdiri tegak setelah ruku’, merupakan bagian integral dari shalat. Rasulullah SAW mengajarkan dua versi bacaan ini, yakni versi pendek dan versi panjang, keduanya sama-sama mengandung pujian dan syukur kepada Allah SWT atas kebesaran dan keagungan-Nya. Pilihan versi bacaan dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing jamaah saat melaksanakan shalat.
Versi Pendek:
Versi pendek doa i’tidal ini merupakan bacaan sederhana yang diajarkan Rasulullah SAW dan diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA. Hadits ini termaktub dalam beberapa kitab hadits terkemuka, seperti Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Al-Baihaqi, dan Ahmad. Bunyi hadits tersebut kurang lebih bermakna: "Ketika berdiri (dari ruku’), beliau (Rasulullah SAW) mengucapkan: ‘Rabbanaa wa lakal hamdu’."
Berikut bacaan versi pendek dalam bahasa Arab, transliterasi latin, dan artinya:
- Arab: رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
- Latin: Rabbanaa wa lakal hamdu.
- Artinya: Wahai Tuhan kami, bagi-Mu lah segala pujian.
Versi Panjang:
Selain versi pendek, Rasulullah SAW juga mengajarkan versi panjang yang lebih komprehensif dalam memuji dan mengagungkan Allah SWT. Versi ini mengandung ungkapan syukur yang lebih luas dan mendalam.
Berikut bacaan versi panjang dalam bahasa Arab, transliterasi latin, dan artinya:
- Arab: رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءُ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءُ الْأَرْضِ وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ
- Latin: Rabbanaa lakal hamdu mil’us samaawaati wa mil’ul ardhi wa mil’u maa syita min syal’in ba’du.
- Artinya: Ya Rabb kami, bagi Engkau-lah segala puji yang memenuhi langit dan bumi dan memenuhi apa saja yang Engkau kehendaki.
Pilihan antara versi pendek dan panjang sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing individu. Keduanya sama-sama sah dan diterima di sisi Allah SWT. Yang terpenting adalah kesungguhan dan keikhlasan dalam melafalkan doa tersebut sebagai bentuk penghambaan dan rasa syukur kepada Sang Pencipta.
Gerakan I’tidal: Tata Cara dan Perbedaan Pendapat Ulama
I’tidal, gerakan berdiri tegak setelah ruku’, bukan sekadar transisi gerakan, melainkan bagian integral dari rukun shalat yang memiliki nilai spiritual yang mendalam. Gerakan ini menuntut kesempurnaan dan ketenangan (thuma’ninah) sebelum melanjutkan ke gerakan sujud.
Setelah menyelesaikan bacaan ruku’, jamaah dapat mengangkat kedua tangan sejajar telinga atau dada sambil mengucapkan "Sami’allaahu liman hamidah" yang artinya "Allah mendengar orang yang memuji-Nya." Ucapan ini merupakan sunnah, bukan rukun shalat.
Kemudian, berdirilah tegak dengan tenang dan khusyuk, menyerupai posisi sebelum ruku’. Rasulullah SAW bersabda: "Bangunlah dari ruku’ hingga benar-benar dalam posisi tegak berdiri." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini menekankan pentingnya thuma’ninah, yakni diam sejenak dengan tenang sebelum melanjutkan ke bacaan setelah ruku’.
Setelah berdiri tegak, bacalah salah satu versi doa i’tidal yang telah dijelaskan di atas. Namun, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai posisi tangan setelah ruku’.
Sebagian ulama menganjurkan untuk bersedekap, yaitu meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dada, sama seperti posisi sebelum ruku’. Pendapat ini didasarkan pada prinsip bahwa sikap berdiri dalam shalat harus mencerminkan adab dan ketundukan di hadapan Allah SWT.
Di sisi lain, sebagian ulama lain membolehkan untuk tidak bersedekap setelah ruku’. Mereka berpendapat bahwa tidak ada dalil yang secara tegas mewajibkan bersedekap setelah ruku’.
Perbedaan pendapat ini menunjukkan keluasan dan fleksibilitas dalam memahami ajaran Islam. Yang terpenting adalah kesungguhan dan keikhlasan dalam melaksanakan shalat sesuai dengan pemahaman dan kemampuan masing-masing individu. Baik bersedekap maupun tidak, keduanya tetap sah selama dilakukan dengan khusyuk dan thuma’ninah.
Kesimpulan:
I’tidal, baik dari segi bacaan maupun gerakannya, merupakan bagian penting dalam shalat yang perlu diperhatikan. Ketepatan dalam melafalkan doa i’tidal, baik versi pendek maupun panjang, serta melaksanakan gerakan i’tidal dengan tenang dan khusyuk, akan meningkatkan kualitas dan kekhusyukan shalat kita. Perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait posisi tangan setelah ruku’ menunjukkan keluasan dan fleksibilitas dalam beribadah, asalkan tetap dilandasi keikhlasan dan kesungguhan hati. Semoga uraian ini dapat membantu para pembaca dalam memahami dan melaksanakan i’tidal dengan lebih sempurna sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Semoga Allah SWT menerima amal ibadah kita semua.