Pernikahan, dalam pandangan Islam, bukan sekadar ikatan legal antara dua individu, melainkan sebuah sunnah—tradisi—yang dianjurkan bahkan diteladani oleh para Nabi dan Rasul. Landasan teologisnya termaktub dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 1, yang secara ringkas menerangkan penciptaan manusia berpasang-pasangan dan anjuran untuk menjaga silaturahmi. Ayat ini, meskipun tidak secara eksplisit membahas pernikahan, menekankan pentingnya institusi keluarga sebagai pondasi masyarakat yang bertakwa dan harmonis. Pemahaman lebih mendalam tentang makna pernikahan dalam Islam dapat dikaji melalui hadits-hadits Nabi Muhammad SAW, yang memberikan panduan praktis dan spiritual bagi kehidupan berumah tangga. Berikut enam hadits yang menggarisbawahi pentingnya pernikahan dalam konteks agama dan kehidupan sosial:
1. Anjuran Menikah bagi Kaum Muda yang Mampu Menafkahi:
Hadits pertama menekankan aspek ekonomi dan kemandirian dalam konteks pernikahan. Dari Abdullah bin Mas’ud RA, Nabi SAW bersabda: "Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang sudah mampu menanggung nafkah, hendaknya dia menikah. Karena menikah lebih mampu menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Sementara siapa saja yang tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa. Karena puasa bisa menjadi tameng syahwat baginya." (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits ini bukan sekadar anjuran, melainkan sebuah nasihat bijak yang mempertimbangkan aspek kematangan emosional dan finansial. Kemampuan menafkahi bukan hanya sebatas pemenuhan kebutuhan materiil, melainkan juga mencakup tanggung jawab emosional dan spiritual terhadap pasangan dan keluarga yang akan dibentuk. Kemampuan finansial yang memadai menjadi prasyarat penting untuk menghindari kesulitan ekonomi yang dapat memicu konflik dan permasalahan rumah tangga. Bagi mereka yang belum mampu secara ekonomi, hadits ini menyarankan puasa sebagai alternatif untuk mengendalikan hawa nafsu dan menjaga kesucian diri. Puasa, dalam konteks ini, bukan sekadar ibadah ritual, melainkan juga sebagai bentuk pengendalian diri dan penyucian jiwa sebelum memasuki komitmen suci pernikahan.
2. Pernikahan sebagai Sunnah Rasul:
Hadits ini mengangkat status pernikahan sebagai sunnah—tradisi—yang dijalankan oleh para Nabi dan Rasul. Dari Abu Ayyub RA, Nabi SAW bersabda: "Ada empat perkara yang termasuk sunnah para rasul: rasa malu, memakai wewangian, bersiwak dan menikah." (HR At Tirmidzi)
Pengakuan pernikahan sebagai sunnah Rasul memiliki implikasi yang sangat penting. Ini bukan hanya sebuah tindakan yang dianjurkan, melainkan sebuah teladan yang patut diikuti oleh umat Islam. Dengan demikian, pernikahan bukan sekadar pilihan hidup, melainkan sebuah jalan yang membawa keberkahan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Keempat sunnah yang disebutkan dalam hadits ini—rasa malu, memakai wewangian, bersiwak, dan menikah—menunjukkan perhatian terhadap aspek akhlak, kebersihan, dan kehidupan sosial. Keempatnya saling berkaitan dan melengkapi, menggambarkan kehidupan yang seimbang antara spiritualitas dan kehidupan duniawi.
3. Pernikahan sebagai Jalan Menuju Peningkatan Ibadah:
Hadits ini menyoroti aspek spiritual pernikahan. Hadits yang berbunyi: "Siapa yang menikah maka sungguh ia telah diberi setengahnya ibadah." (HR Abu Ya’la) menunjukkan bahwa pernikahan bukan sekadar urusan duniawi, melainkan juga memiliki dimensi spiritual yang signifikan.
Pernyataan "setengahnya ibadah" tidak berarti pernikahan itu sendiri adalah ibadah, melainkan menunjukkan bahwa kehidupan berumah tangga yang dijalani dengan penuh tanggung jawab dan ketaatan kepada Allah SWT dapat menjadi jalan menuju peningkatan kualitas ibadah. Menjaga keharmonisan rumah tangga, mendidik anak-anak dengan baik, dan memenuhi hak-hak pasangan merupakan bagian dari ibadah yang bernilai pahala di sisi Allah SWT. Hadits ini mendorong umat Islam untuk memandang pernikahan sebagai sebuah kesempatan untuk meningkatkan ketakwaan dan mendekatkan diri kepada-Nya.
4. Pertolongan Allah SWT bagi Mereka yang Menikah:
Hadits ini menekankan aspek perlindungan dan pertolongan Allah SWT bagi mereka yang menikah dengan niat yang baik. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Ada tiga golongan manusia yang berhak mendapatkan pertolongan Allah Swt., yakni seorang yang berjihad di jalan Allah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya." (HR Ahmad)
Hadits ini menempatkan pernikahan sejajar dengan jihad fi sabilillah dan pembebasan diri dari perbudakan sebagai tindakan yang mendapatkan pertolongan Allah SWT. Pernikahan, dalam konteks ini, dimaknai sebagai upaya untuk menjaga kehormatan dan menghindari perbuatan zina. Pertolongan Allah SWT dalam hal ini dapat berupa kemudahan dalam menjalani kehidupan berumah tangga, perlindungan dari godaan syahwat, dan keberkahan dalam keluarga. Hadits ini menekankan pentingnya niat yang lurus dan tulus dalam memasuki pernikahan, yaitu untuk menjaga kehormatan diri dan menjalankan perintah Allah SWT.
5. Anjuran Menikah untuk Mencegah Fitnah:
Hadits ini menyoroti aspek sosial pernikahan dalam mencegah penyimpangan moral. Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW berkata: "Apabila datang kepada kalian siapa yang kalian ridhai akhlak dan agamanya, maka menikahlah ia. Jika tidak kalian lakukan, niscaya akan menjadi fitnah di muka bumi dan terjadi kerusakan yang besar." (HR Tirmidzi)
Hadits ini tidak hanya menganjurkan pernikahan, tetapi juga menekankan konsekuensi sosial jika banyak kaum muda tidak menikah. Ketidakmampuan mengelola hasrat seksual dapat memicu fitnah dan kerusakan moral di masyarakat. Pernikahan, dalam konteks ini, menjadi solusi untuk menyalurkan hasrat seksual secara halal dan terhormat, serta membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Hadits ini juga menekankan pentingnya memilih pasangan hidup yang baik akhlak dan agamanya, sebagai pondasi keluarga yang harmonis dan bertakwa.
6. Pernikahan sebagai Manifestasi Cinta Sejati:
Hadits terakhir ini menekankan aspek cinta dan kasih sayang dalam pernikahan. Nabi SAW bersabda: "Kami tidak melihat (cinta sejati) bagi dua orang yang saling mencintai seperti dalam pernikahan." (HR Ibnu Majah)
Hadits ini menegaskan bahwa cinta sejati tidak hanya sebatas perasaan romantis, melainkan juga terwujud dalam komitmen dan tanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga. Pernikahan memberikan kerangka dan wadah bagi cinta untuk berkembang dan berbuah manis. Cinta dalam pernikahan bukan hanya sebatas perasaan, melainkan juga tindakan nyata dalam saling menyayangi, saling menghormati, dan saling mendukung. Hadits ini mengajak umat Islam untuk memandang pernikahan sebagai manifestasi cinta sejati yang abadi dan penuh keberkahan.
Kesimpulannya, enam hadits di atas memberikan gambaran komprehensif tentang pandangan Islam terhadap pernikahan. Pernikahan bukan sekadar urusan duniawi, melainkan juga memiliki dimensi spiritual, sosial, dan ekonomi yang saling berkaitan. Pernikahan yang dijalankan sesuai dengan ajaran Islam akan membawa keberkahan, keharmonisan, dan kebahagiaan bagi individu, keluarga, dan masyarakat. Hadits-hadits ini menjadi panduan bagi setiap muslim dalam memilih pasangan hidup, membangun keluarga, dan menjalani kehidupan berumah tangga yang diridhoi Allah SWT. Memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran ini menjadi kunci untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah—keluarga yang penuh kedamaian, kasih sayang, dan rahmat.