Jakarta – Dalam ajaran Islam, makanan bukan sekadar pemuas rasa lapar, melainkan bagian integral dari rezeki yang dianugerahkan Allah SWT. Sikap syukur atas karunia ini menjadi pondasi penting dalam kehidupan seorang muslim. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 57 dengan tegas memerintahkan konsumsi makanan yang baik, menunjukkan betapa pentingnya aspek ini dalam kerangka ibadah dan kehidupan sehari-hari. Ayat tersebut, yang secara harfiah sulit diterjemahkan secara tepat tanpa konteks, menekankan pentingnya mengonsumsi makanan yang halal dan baik, menjauhi makanan yang haram atau meragukan, serta mengajak kepada rasa syukur atas nikmat yang diberikan. (Terjemahan ayat Al-Baqarah 57 perlu disertakan secara lengkap dan akurat dalam bahasa Indonesia, jika memungkinkan dengan berbagai interpretasi ulama terkemuka).
Hadits Nabi Muhammad SAW juga memberikan panduan praktis terkait konsumsi makanan. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada wadah yang lebih buruk yang dipenuhi oleh seorang manusia selain perutnya. Dia sebenarnya hanya membutuhkan beberapa suap untuk menopang hidupnya. Karena itu, perut perlu dibagi menjadi tiga bagian; sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, sepertiga untuk udara.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim). Hadits ini bukan sekadar anjuran untuk makan secukupnya, melainkan menunjukkan kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan jasmani dan rohani melalui pola makan yang seimbang. Pengaturan porsi makan yang bijak mencegah kelebihan konsumsi yang dapat berdampak negatif bagi kesehatan dan spiritualitas.
Lebih jauh lagi, ajaran Islam dengan tegas melarang sikap mencela makanan. Sikap ini mencerminkan ketidaksyukuran dan kurangnya penghargaan terhadap rezeki yang diberikan Allah SWT. Sebaliknya, Rasulullah SAW memberikan teladan yang sempurna dalam hal ini. Berbagai riwayat hadits menunjukkan bahwa beliau tidak pernah mencela makanan, baik yang disukainya maupun yang tidak. Jika beliau menyukai suatu makanan, beliau akan memakannya dengan penuh syukur. Namun, jika tidak menyukai, beliau akan meninggalkannya dengan santun, tanpa mengeluarkan kata-kata yang mencela atau meremehkan. (Hadits-hadits yang relevan perlu dikutip secara lengkap dan akurat dengan menyebutkan sumbernya).
Keteladanan Rasulullah SAW ini terlihat jelas dalam sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas. Kisah ini menggambarkan bagaimana Rasulullah SAW menghadapi hidangan daging dhabb (sejenis kadal gurun) yang disajikan di rumah Maimunah, istri beliau. Meskipun daging dhabb bukanlah makanan yang biasa dikonsumsi di lingkungan Rasulullah SAW, beliau tidak mencelanya. Ketika mengetahui jenis makanan tersebut, beliau hanya menarik kembali tangannya, menunjukkan ketidaksukaan tanpa mengeluarkan kata-kata negatif. Khalid bin Walid, yang turut hadir, kemudian menanyakan kehalalan daging dhabb tersebut. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa daging dhabb halal, namun beliau merasa jijik karena tidak biasa mengonsumsinya. Sikap Rasulullah SAW ini menunjukkan kebijaksanaan dan kehalusan dalam menghadapi makanan yang tidak disukai, tanpa menyinggung perasaan yang menyajikannya. (HR Bukhari dan Muslim – perlu disertakan redaksi lengkap hadits).
Peristiwa ini memberikan pelajaran berharga tentang adab dalam menghadapi makanan. Ketidaksukaan terhadap suatu makanan bukanlah alasan untuk mencelanya. Cukup dengan tidak memakannya, tanpa perlu mengeluarkan komentar negatif yang dapat menyakiti perasaan orang lain atau menunjukkan ketidaksyukuran. Sikap ini mencerminkan etika dan kesantunan dalam berinteraksi sosial, sekaligus menunjukkan penghargaan terhadap rezeki yang diberikan Allah SWT, meskipun dalam bentuk yang mungkin tidak kita sukai.
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, dalam bukunya "Wasiat-Wasiat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Umatnya," menjelaskan lebih lanjut tentang larangan menolak sesuatu yang baik tanpa sebab yang disyariatkan. Beliau menekankan bahwa menolak anugerah Allah SWT, baik berupa makanan maupun hal lainnya, merupakan perbuatan tercela. Sikap ini bertentangan dengan akhlak Salafus Shalih (generasi terbaik umat Islam), yang teladan dalam menerima dan mensyukuri segala bentuk rezeki. Mereka, dalam perjalanan penaklukan berbagai negeri, menikmati berbagai jenis makanan dan minuman yang mungkin tidak ada di zaman Nabi SAW, menunjukkan sikap terbuka dan penuh syukur terhadap karunia Allah SWT.
Lebih lanjut, Syaikh Al-Utsaimin menjelaskan bahwa menolak anugerah Allah SWT merupakan adab yang buruk. Rasulullah SAW sendiri tidak pernah menolak hadiah, sekecil apapun. Beliau selalu menerimanya dengan penuh syukur dan membalasnya dengan ucapan terima kasih atau balasan yang sesuai. Sikap ini menunjukkan betapa pentingnya menghargai upaya dan niat baik orang lain dalam memberikan sesuatu kepada kita.
Kesimpulannya, ajaran Islam menekankan pentingnya syukur atas rezeki, termasuk makanan. Mencela makanan merupakan perbuatan tercela yang bertentangan dengan ajaran agama. Rasulullah SAW memberikan teladan yang sempurna dalam hal ini, dengan menunjukkan sikap yang bijaksana dan santun dalam menghadapi makanan yang tidak disukai. Sikap beliau bukanlah menolak rezeki Allah SWT, melainkan menunjukkan cara yang tepat dalam menangani ketidaksukaan tanpa menimbulkan dampak negatif bagi diri sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, sebaiknya kita meneladani Rasulullah SAW dalam menghargai rezeki dan menunjukkan sikap syukur dalam setiap kondisi. Semoga kita selalu diberikan hidayah untuk selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah SWT anugerahkan.