Pernikahan dalam Islam bukan sekadar perjanjian antara dua individu, melainkan sebuah ikatan suci yang dilandasi oleh rukun-rukun yang telah ditetapkan syariat. Keberadaan rukun-rukun ini menjadi pilar fundamental bagi sahnya sebuah pernikahan dan keberkahan rumah tangga yang dibangun di atasnya. Mengacu pada berbagai literatur fikih, seperti Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq dan Hukum Perkawinan dalam Agama-agama susunan Henny Wiludjeng, serta Kompilasi Hukum Islam (KHI), kita akan mengkaji secara mendalam lima rukun pernikahan dalam Islam yang wajib dipenuhi oleh calon mempelai. Ketidaklengkapan salah satu rukun akan mengakibatkan pernikahan tersebut batal secara hukum agama.
1. Adanya Calon Suami (Al-Zauj): Kehadiran Pilar Utama Institusi Keluarga
Rukun pernikahan pertama dan terpenting adalah keberadaan calon suami. Ia merupakan pilar utama dalam membangun institusi keluarga. Islam menetapkan sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami agar pernikahan dapat dianggap sah. Syarat-syarat ini tidak hanya berkaitan dengan aspek fisik, namun juga mencakup aspek moral, spiritual, dan sosial. Beberapa syarat yang umum dikenal antara lain:
-
Islam: Calon suami idealnya beragama Islam. Meskipun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai pernikahan antara muslim dan non-muslim, mayoritas ulama menganjurkan pernikahan sesama muslim untuk menjaga kemurnian akidah dan keharmonisan keluarga.
-
Baligh: Calon suami harus telah mencapai usia baligh (dewasa) baik secara fisik maupun mental. Usia baligh ini umumnya ditandai dengan datangnya mimpi basah pada laki-laki. Kedewasaan mental juga menjadi pertimbangan penting, memastikan calon suami mampu bertanggung jawab atas kewajibannya sebagai suami dan kepala keluarga.
-
Berakal Sehat: Kejernihan akal sangat penting untuk memastikan calon suami mampu memahami hak dan kewajiban dalam pernikahan. Seseorang yang mengalami gangguan jiwa berat, misalnya, tidak dianggap mampu untuk menjalankan perannya sebagai suami.
-
Merdeka: Calon suami harus berstatus merdeka, bukan budak atau terikat perbudakan. Syarat ini berkaitan dengan harkat dan martabat manusia dalam Islam, yang menekankan kesetaraan dan kemerdekaan individu.
-
Kemampuan Menafkahi: Islam menekankan tanggung jawab suami dalam menafkahi istri dan keluarganya. Kemampuan ekonomi yang memadai menjadi pertimbangan penting, meskipun tidak harus kaya raya, tetapi setidaknya mampu memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Ini mencakup aspek material dan spiritual.
-
Bukan Mahram: Calon suami tidak boleh memiliki hubungan mahram (kerabat dekat yang diharamkan menikah) dengan calon istri. Ketentuan ini bertujuan untuk menjaga kehormatan keluarga dan menghindari percampuran hubungan yang dilarang dalam Islam.
Syarat-syarat di atas merupakan gambaran umum. Detail dan penafsirannya dapat bervariasi tergantung pada mazhab dan konteks sosial budaya. Namun, esensi dari syarat-syarat tersebut adalah untuk memastikan terwujudnya pernikahan yang kokoh dan berlandaskan prinsip-prinsip keadilan dan keseimbangan.
2. Adanya Calon Istri (Az-Zaujah): Mitra Sejati dalam Membangun Keluarga Sakinah
Rukun kedua adalah keberadaan calon istri. Sama halnya dengan calon suami, calon istri juga memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi agar pernikahan sah menurut syariat Islam. Syarat-syarat ini mencerminkan kedudukan dan peran penting wanita dalam Islam, yang dihormati dan dihargai sebagai mitra sejati dalam membangun keluarga sakinah. Beberapa syarat yang umum dikenal antara lain:
-
Islam: Calon istri idealnya beragama Islam. Hal ini sejalan dengan syarat calon suami, untuk menjaga keserasian dan keharmonisan dalam kehidupan berumah tangga.
-
Baligh: Calon istri juga harus telah mencapai usia baligh, baik secara fisik maupun mental. Kedewasaan ini penting untuk memastikan ia mampu memahami dan menjalankan hak serta kewajibannya sebagai istri.
-
Berakal Sehat: Kejernihan akal sangat penting bagi calon istri untuk memahami konsekuensi dan tanggung jawab dalam pernikahan.
-
Merdeka: Calon istri harus berstatus merdeka, bukan budak atau terikat perbudakan. Syarat ini sejalan dengan prinsip kesetaraan dan kemerdekaan individu dalam Islam.
-
Persetujuan: Meskipun wali nikah memegang peran penting dalam pernikahan, persetujuan calon istri sendiri juga sangat krusial. Pernikahan yang dipaksakan tanpa persetujuannya tidak sah dan melanggar hak asasi manusia.
Syarat-syarat ini, meskipun tampak sederhana, mengandung makna yang mendalam. Ia menegaskan pentingnya kesetaraan dan kemitraan antara suami dan istri dalam membangun rumah tangga yang harmonis dan bahagia.
3. Adanya Wali Nikah: Penanggung Jawab dan Pembimbing Pernikahan
Wali nikah merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk menikahkan calon istri. Keberadaan wali nikah merupakan rukun pernikahan yang tidak dapat diabaikan. Tanpa wali nikah yang sah, pernikahan dianggap batal. Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara tegas mengatur tentang kewajiban adanya wali nikah. Wali nikah memiliki peran penting sebagai penanggung jawab dan pembimbing dalam proses pernikahan. Syarat-syarat wali nikah antara lain:
-
Islam: Wali nikah idealnya seorang muslim yang memahami syariat Islam.
-
Baligh dan Berakal Sehat: Wali nikah harus telah baligh dan memiliki akal sehat untuk memahami dan menjalankan tugasnya.
-
Bukan Mahram Calon Suami: Wali nikah tidak boleh memiliki hubungan mahram dengan calon suami.
-
Tidak Cacat Hukum: Wali nikah harus bebas dari cacat hukum yang dapat mempengaruhi kewenangannya.
Terdapat dua jenis wali nikah dalam hukum Islam di Indonesia: wali nasab (wali dari keluarga mempelai wanita, seperti ayah, kakek, dan seterusnya) dan wali hakim (wali yang ditunjuk oleh negara dalam keadaan tertentu, misalnya jika wali nasab tidak ada atau tidak mampu). Prioritas diberikan kepada wali nasab, dan wali hakim hanya bertindak sebagai pengganti jika wali nasab tidak tersedia.
4. Dua Orang Saksi (Asy-Syahidan): Menyaksikan dan Mengesahkan Pernikahan
Saksi merupakan rukun pernikahan yang sangat penting. Akad nikah harus disaksikan oleh dua orang saksi yang adil dan terpercaya. Kehadiran saksi bertujuan untuk mengesahkan pernikahan dan memberikan bukti sahnya akad nikah tersebut. Syarat-syarat saksi antara lain:
-
Islam (Sebagian Ulama): Meskipun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, sebagian besar berpendapat bahwa saksi idealnya seorang muslim yang memahami syariat Islam. Namun, ada juga pendapat yang memperbolehkan saksi non-muslim, asalkan adil dan terpercaya.
-
Baligh dan Berakal Sehat: Saksi harus telah baligh dan memiliki akal sehat untuk memahami dan mengingat apa yang disaksikannya.
-
Adil dan Terpercaya: Saksi harus memiliki reputasi baik dan terpercaya di masyarakat. Saksi yang dikenal sering berbohong atau tidak jujur tidak dapat diterima.
-
Memahami Bahasa Akad: Saksi harus memahami bahasa yang digunakan dalam akad nikah agar dapat menyaksikan dengan benar.
Kehadiran dua orang saksi yang memenuhi syarat ini menjadi bukti sahnya pernikahan dan melindungi hak-hak kedua mempelai.
5. Ijab dan Qabul (Shighat): Pernyataan Kesepakatan Suci
Rukun pernikahan kelima adalah ijab dan qabul, yang merupakan pernyataan resmi dari kedua belah pihak untuk melangsungkan pernikahan. Ijab adalah pernyataan dari pihak perempuan (melalui wali nikahnya) yang menyatakan kesediaannya untuk dinikahkan dengan calon suami. Qabul adalah jawaban dari calon suami yang menerima pinangan tersebut. Syarat-syarat ijab dan qabul antara lain:
-
Lafaz yang Jelas dan Benar: Lafaz ijab dan qabul harus jelas, lugas, dan sesuai dengan ajaran Islam. Penggunaan kata-kata yang ambigu atau tidak tepat dapat membatalkan akad nikah.
-
Tanpa Syarat dan Batas Waktu: Ijab dan qabul tidak boleh disertai syarat-syarat tertentu atau batas waktu. Pernikahan yang diikat dengan syarat atau batas waktu (nikah mut’ah) dilarang dalam Islam.
-
Tanpa Kinayah (Sindiran): Lafaz ijab dan qabul harus lugas dan tidak menggunakan kiasan atau sindiran yang dapat menimbulkan penafsiran ganda.
-
Penerimaan yang Jelas: Qabul harus menunjukkan penerimaan yang tegas dan jelas dari calon suami terhadap pinangan tersebut. Contoh lafaz qabul yang sah: "Saya terima nikahnya… (nama calon istri) dengan mas kawin… (sebutkan mas kawin)."
-
Bahasa yang Dipahami: Meskipun bahasa Arab idealnya digunakan, akad nikah dapat dilakukan dengan bahasa lain yang dipahami oleh kedua belah pihak dan wali nikah, asalkan maknanya jelas dan tidak menimbulkan keraguan.
Ijab dan qabul merupakan puncak dari proses pernikahan, yang mengikat secara sah kedua mempelai dalam ikatan perkawinan yang dilindungi syariat Islam. Kelima rukun ini, jika terpenuhi secara sempurna, akan menjadi fondasi yang kokoh bagi terwujudnya keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Ketidaklengkapan salah satu rukun akan mengakibatkan pernikahan tersebut batal secara hukum agama, dan perlu dilakukan perbaikan agar pernikahan tersebut sah di mata agama dan negara.