Keputihan, fenomena fisiologis alami pada wanita dewasa, kerap menimbulkan pertanyaan seputar kesuciannya dan dampaknya terhadap ibadah, khususnya wudhu dan sholat. Pemahaman yang tepat mengenai status hukum keputihan dalam Islam menjadi krusial bagi kenyamanan spiritual para muslimah. Artikel ini akan mengkaji secara mendalam berbagai pendapat ulama serta memberikan panduan praktis bagi wanita yang mengalaminya.
Status Kesucian Keputihan: Perbedaan Pendapat Ulama
Secara bahasa, keputihan (ar-ruthubah) berarti basah, lembab, atau berembun. Cairan ini keluar dari vagina dan leher rahim, dan keberadaannya merupakan hal yang normal. Namun, status kesuciannya dalam perspektif fiqih menjadi perdebatan di kalangan ulama.
Mayoritas ahli fiqih, seperti yang dikutip dari buku Fiqih Perempuan Kontemporer dalam al Mausu’ah al-Fiqhiyah, menganggap keputihan yang berasal dari dalam kemaluan sebagai najis. Pendapat ini didasarkan pada asal muasal cairan tersebut. Sebaliknya, cairan yang berasal dari permukaan luar kemaluan dianggap suci. Perbedaan pendapat ini menunjukan kompleksitas dalam menentukan sumber keputihan.
Madzhab Hanafi dan Hanbali berpendapat keputihan suci secara mutlak. Sementara itu, Madzhab Maliki, pendapat Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan menyatakannya najis. Madzhab Syafi’i memberikan penafsiran lebih spesifik, menyatakan keputihan yang keluar dari permukaan kemaluan, yang dapat keluar saat dalam keadaan suci, dianggap suci. Namun, pertimbangan ini menuntut ketelitian dalam membedakan sumber keluarnya cairan.
Kesimpulannya, meskipun terdapat perbedaan pendapat, pendapat yang paling kuat dan didukung oleh mayoritas ulama adalah bahwa keputihan pada umumnya suci. Ketiadaan dalil khusus yang menyatakan keputihan sebagai najis menjadi landasan utama pendapat ini.
Pengategorian Area Kewanitaan Menurut Buya Yahya
Buya Yahya, dalam penjelasannya melalui kanal YouTube-nya, menawarkan perspektif yang lebih rinci dengan membagi area kewanitaan menjadi tiga wilayah, masing-masing dengan status kesucian yang berbeda:
-
Wilayah Terdepan: Area ini mudah dijangkau saat beristinja. Cairan yang berasal dari wilayah ini dianggap mutlak suci.
-
Wilayah Tengah: Area ini dapat dijangkau oleh kemaluan suami saat berhubungan intim. Terdapat perbedaan pendapat mengenai status kesucian cairan dari area ini. Namun, Buya Yahya cenderung berpendapat bahwa cairan dari area ini, khususnya pada wanita sehat dan normal, tidak najis. Keputihan yang umumnya keluar dari area ini, karenanya, tidak dianggap najis.
-
Wilayah Terdalam: Area ini dianggap mutlak najis. Cairan yang keluar dari area ini, terutama jika disertai kondisi fisik yang tidak baik, dianggap najis.
Penjelasan Buya Yahya ini memberikan kerangka yang lebih praktis dalam memahami status kesucian keputihan, dengan menekankan pentingnya kondisi kesehatan dan lokasi sumber cairan.
Dampak Keputihan terhadap Wudhu dan Sholat
Meskipun zat keputihan itu sendiri mungkin suci, keluarnya cairan tersebut dapat membatalkan wudhu dan sholat menurut mayoritas ulama. Syekh Muhammad Shalih al-Munajjid menegaskan bahwa keputihan membatalkan wudhu menurut pendapat jumhur (mayoritas). Oleh karena itu, keluarnya keputihan setelah berwudhu mewajibkan berwudhu kembali. Begitu pula, keluarnya keputihan saat sholat mengharuskan membatalkan sholat dan berwudhu ulang.
Keputihan Berlebih Akibat Penyakit: Izin Jamak Sholat
Kondisi keputihan yang berlebihan dan terus-menerus akibat penyakit menimbulkan tantangan tersendiri. Dalam situasi ini, Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin memberikan keringanan dengan memperbolehkan jamak sholat. Beliau menjelaskan bahwa meskipun keputihan tetap suci, kesulitan berwudhu berulang kali dapat diatasi dengan menjamak sholat Dzuhur dan Ashar, serta Maghrib dan Isya. Namun, keringanan ini hanya berlaku jika memang terdapat kesulitan yang signifikan. Jika tidak ada kesulitan berarti, maka sholat tetap harus dikerjakan pada waktunya.
Buya Yahya juga menyarankan penggunaan pembalut atau penyumbat untuk mengelola keputihan yang berlebih, sehingga memungkinkan wanita untuk berwudhu dan melaksanakan sholat pada waktunya.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Secara umum, keputihan bukanlah najis dan tidak menghalangi wanita untuk menunaikan ibadah. Namun, perlu diperhatikan beberapa hal penting:
-
Kebersihan: Meskipun suci, membersihkan diri setelah keluarnya keputihan sebelum sholat tetap dianjurkan untuk menjaga kebersihan dan kekhusyukan ibadah.
-
Sumber Keputihan: Perlu kehati-hatian dalam membedakan sumber keputihan, apakah dari area permukaan yang suci atau dari area dalam yang mungkin najis.
-
Kondisi Kesehatan: Keputihan yang berlebihan dan terus-menerus akibat penyakit memerlukan penanganan medis dan pemahaman fiqih yang lebih spesifik terkait keringanan ibadah.
-
Konsultasi: Jika terdapat keraguan atau kesulitan dalam memahami hukum fiqih terkait keputihan, konsultasi dengan ulama atau ahli fiqih yang terpercaya sangat dianjurkan.
Pemahaman yang komprehensif dan bijaksana mengenai status keputihan dalam Islam sangat penting untuk memberikan kenyamanan dan ketenangan spiritual bagi para muslimah. Semoga penjelasan ini dapat memberikan pencerahan dan membantu para wanita dalam menjalankan ibadah dengan lebih baik. Wallahu a’lam bishawab.