Imam Syafi’i, ulama besar yang madzhabnya hingga kini masih dianut jutaan umat Muslim di seluruh dunia, dikenal bukan hanya karena keluasan pengetahuannya yang mendalam, tetapi juga karena kebijaksanaan dan kehalusan akhlaknya yang luar biasa. Salah satu warisan pemikirannya yang relevan hingga saat ini adalah bagaimana menyikapi perdebatan, khususnya dengan individu yang kurang berilmu atau bahkan dapat dikategorikan bodoh. Petuah-petuah beliau, yang tertuang dalam syair-syair dan riwayat-riwayat hidupnya, menawarkan perspektif yang mendalam tentang strategi komunikasi efektif dan pengembangan diri dalam menghadapi perbedaan pendapat.
Bukan Kemenangan, Melainkan Taufiq yang Dicari
Berbeda dengan pendekatan argumentatif yang seringkali didasarkan pada ambisi untuk meraih kemenangan semata, Imam Syafi’i menempatkan perdebatan dalam konteks yang jauh lebih luas. Mengutip Syarah Diwan Imam Asy Syafi’i karya Muhammad Ibrahim Salim, terdapat kisah di mana Imam Syafi’i terlibat dalam perdebatan dengan seseorang yang dianggap bodoh. Meskipun lawan debatnya merasa telah mengalahkan beliau, kenyataannya Imam Syafi’i justru memilih untuk mengalah. Hal ini bukan karena beliau kalah argumentasi, melainkan karena beliau menyadari batasan-batasan dalam berdebat dengan seseorang yang tidak memiliki landasan keilmuan yang memadai.
Dalam syairnya, Imam Syafi’i mengungkapkan, "Aku mampu berhujjah dengan sepuluh orang berilmu, tapi aku kalah pada satu orang jahil (bodoh) karena ia tidak tahu akan landasan ilmu." Pernyataan ini bukan sekadar ungkapan kerendahan hati, melainkan refleksi atas realitas perdebatan yang efektif. Berdebat dengan sepuluh ahli ilmu, menurut Imam Syafi’i, berpotensi menghasilkan pertukaran pengetahuan dan pemahaman yang saling menguntungkan. Sebaliknya, berdebat dengan orang bodoh yang merasa paling benar—seperti yang dijelaskan dalam Empat Imam Madzhab yang Mempengaruhi Dunia karya Ilham Wahyudi—hanya akan membuang waktu dan energi. Orang bodoh, seringkali, enggan mendengarkan perspektif yang berbeda dan lebih terpaku pada keyakinan mereka sendiri, sekalipun tidak berlandaskan bukti atau argumentasi yang valid.
Lebih jauh lagi, seperti yang dikutip dari laman Pesantren Ar Risalah Cariu dan merujuk pada kitab Tawali Ta’sis karya Ibnu Hajar Al-Asqolani, Imam Syafi’i menegaskan bahwa tujuan beliau dalam berdebat bukanlah kemenangan. Beliau menyatakan, "(…kutipan syair arab yang telah diberikan…)" yang kurang lebih bermakna: "Aku tidak berdebat kecuali berharap agar lawan debatku diberi taufiq dan pertolongan serta dijaga oleh-Nya. Dan tidak pula aku berdebat kecuali aku tak menghiraukan apakah Allah menampakkan kebenaran lewat lisanku atau lisannya." Pernyataan ini menunjukkan bahwa Imam Syafi’i melihat perdebatan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan harapan agar kebenaran terungkap, terlepas dari siapa yang menyampaikannya. Fokusnya bukan pada siapa yang menang atau kalah, melainkan pada tercapainya pemahaman yang lebih baik dan terbukanya jalan menuju kebenaran.
Diam: Strategi Bijak Menghadapi Kebodohan
Menghadapi perdebatan yang tidak produktif dengan orang bodoh, Imam Syafi’i menganjurkan strategi yang lebih bijak: diam. Bukan diam karena menyerah atau takut, melainkan diam sebagai bentuk strategi komunikasi yang efektif dan sebagai wujud dari kebijaksanaan. Dalam konteks ini, diam bukanlah tanda kelemahan, melainkan kekuatan yang terkendali. Melanjutkan perdebatan yang tidak menghasilkan solusi hanya akan memperburuk situasi dan menguras energi.
Syair Imam Syafi’i yang lain menekankan pentingnya diam dalam menghadapi kebodohan: "(…kutipan syair arab yang telah diberikan…)" yang artinya: "Apabila orang bodoh mengajak berdebat denganmu, maka sikap yang terbaik adalah diam, tidak menanggapi." Diam, dalam konteks ini, merupakan bentuk penyelamatan diri dari perdebatan yang sia-sia. Lebih lanjut, beliau juga memberikan perumpamaan yang menyentuh: "(…kutipan syair arab yang telah diberikan…)" yang artinya: "Apabila kamu melayani, maka kamu akan susah sendiri. Dan bila kamu berteman dengannya, maka ia akan selalu menyakiti hati." Perumpamaan ini menggambarkan betapa sulitnya berinteraksi dengan orang bodoh yang keras kepala dan tidak mau menerima kebenaran. Lebih baik menghindari interaksi yang hanya akan menimbulkan kekecewaan dan penderitaan.
Imam Syafi’i bahkan memberikan analogi yang lebih dalam tentang pentingnya diam sebagai sebuah kekuatan. Seperti yang dikutip dari Scribd.id dan merujuk pada Diwan Asy Syafi’i karya Yusuf Asy Syekh Muhammad Al Baqa’i, beliau membandingkan diam dengan kekuatan singa yang disegani: "(…kutipan syair arab yang telah diberikan…)" yang artinya: "Apakah kamu tidak melihat seekor singa ditakuti lantaran ia pendiam? Sedangkan seekor anjing dibuat permainan karena ia suka menggonggong?" Singa, dengan kekuatan dan wibawanya, tidak perlu banyak bicara untuk menunjukkan dominasinya. Sebaliknya, anjing yang terus menggonggong justru menjadi sasaran ejekan dan permainan. Analogi ini menggambarkan bagaimana diam dapat menjadi senjata yang lebih ampuh daripada perdebatan yang sia-sia.
Lebih jauh lagi, Imam Syafi’i juga menekankan pentingnya diam untuk menjaga kehormatan diri. Beliau menyatakan dalam syairnya: "(…kutipan syair arab yang telah diberikan…)" yang artinya: "Sikap diam terhadap orang yang bodoh adalah suatu kemuliaan. Begitu pula diam untuk menjaga kehormatan adalah suatu kebaikan." Diam, dalam konteks ini, bukan sekadar menghindari perdebatan, tetapi juga merupakan upaya untuk menjaga martabat dan integritas diri. Berdebat dengan orang bodoh yang tidak mau menerima kebenaran hanya akan menurunkan martabat diri sendiri.
Kesimpulan: Warisan Hikmah yang Abadi
Petuah Imam Syafi’i tentang sikap diam dalam menghadapi kebodohan bukanlah ajakan untuk pasif atau menghindari tanggung jawab. Sebaliknya, ini merupakan strategi bijak yang didasarkan pada pemahaman mendalam tentang efektivitas komunikasi dan penggunaan energi. Beliau mengajarkan kita untuk memilih pertempuran yang layak diperjuangkan dan untuk menyadari bahwa tidak semua perdebatan perlu direspon. Lebih penting lagi, beliau menekankan pentingnya niat yang tulus dalam berdebat, bukan untuk mencari kemenangan, melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan menyebarkan kebenaran. Warisan hikmah Imam Syafi’i ini tetap relevan dan sangat berharga dalam kehidupan modern yang penuh dengan perbedaan pendapat dan tantangan komunikasi. Sikap bijak dan penuh hikmah seperti yang ditunjukkan Imam Syafi’i patut menjadi teladan bagi kita semua dalam menghadapi berbagai situasi, khususnya dalam berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda pendapat, agar tercipta suasana yang kondusif dan produktif.