Peristiwa Amul Jamaah (عام الجماعة), atau Tahun Persatuan, menandai babak penting dalam sejarah Islam, sekaligus menjadi tonggak berdirinya Dinasti Umayyah. Lebih dari sekadar peralihan kekuasaan, Amul Jamaah merupakan klimaks dari periode perpecahan dan konflik internal yang mengguncang umat Islam pasca wafatnya Khalifah Utsman bin Affan. Peristiwa ini, yang terjadi pada tahun 41 H/661 M di Maskin, Kufah, menandai berakhirnya periode Fitnah al-Kubra (فتنة الكبرى) – periode fitnah besar – dan dimulainya era baru di bawah kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan. Namun, untuk memahami signifikansi Amul Jamaah, kita perlu menelusuri akar perpecahan yang mendahuluinya.
Fitnah al-Kubra: Benih-Benih Perpecahan Pasca Wafatnya Utsman
Wafatnya Khalifah Utsman bin Affan pada tahun 35 H/656 M menjadi pemicu utama Fitnah al-Kubra. Kematian Khalifah ketiga ini, yang terjadi di tengah situasi politik yang memanas akibat ketidakpuasan sebagian kalangan terhadap kebijakan dan penunjukan gubernur-gubernur yang dianggap memihak, memicu gelombang protes dan pemberontakan. Tuduhan korupsi dan nepotisme yang dialamatkan kepada Utsman, meskipun kebenarannya masih diperdebatkan hingga kini, menjadi bahan bakar bagi sentimen anti-pemerintah yang meluas.
Pembunuhan Utsman, yang terjadi di kediamannya sendiri, bukan sekadar peristiwa kriminal biasa. Ia menjadi simbol kegagalan sistem khilafah dalam mengatasi ketidakpuasan publik dan menandai awal dari perpecahan yang mengoyak persatuan umat Islam. Kevakuman kepemimpinan pasca wafatnya Utsman menciptakan kekosongan kekuasaan yang segera diisi oleh berbagai klaim kepemimpinan. Persatuan umat yang selama ini terjalin mulai terfragmentasi menjadi kelompok-kelompok yang saling berseberangan.
Perang Jamal dan Perang Siffin: Konflik yang Membara
Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantu Nabi Muhammad SAW, terpilih menjadi Khalifah keempat melalui baiat (sumpah setia) dari sebagian besar sahabat. Namun, kepemimpinannya langsung dihadapkan pada tantangan besar. Aisyah, istri Nabi Muhammad SAW, bersama-sama dengan sejumlah sahabat yang menuntut keadilan atas pembunuhan Utsman, melancarkan perlawanan yang berujung pada Perang Jamal (Perang Unta) pada tahun 36 H/656 M. Perang ini, yang melibatkan tokoh-tokoh penting dari kalangan sahabat, mencerminkan kedalaman perpecahan yang melanda umat Islam.
Meskipun Ali berhasil memenangkan Perang Jamal, konflik belum berakhir. Muawiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Suriah dan sepupu Utsman, menolak mengakui kepemimpinan Ali dan menuntut dihukumnya para pembunuh Utsman. Penolakan ini memicu Perang Siffin pada tahun 37 H/657 M, sebuah pertempuran besar yang berlangsung selama beberapa bulan dan menelan banyak korban jiwa.
Perang Siffin, yang hampir dimenangkan oleh pasukan Ali, berakhir dengan perundingan yang kontroversial. Usulan tahkim (arbitrase) yang diajukan oleh pihak Muawiyah, meskipun awalnya ditolak oleh Ali, akhirnya diterima di tengah tekanan dari sebagian pasukannya. Keputusan tahkim yang diambil oleh Amr bin Ash (perwakilan Muawiyah) dan Abu Musa al-Asy’ari (perwakilan Ali) justru memperburuk situasi. Amr bin Ash, dengan taktik liciknya, berhasil menyingkirkan baik Ali maupun dirinya sendiri dari pertarungan perebutan kekuasaan, secara efektif menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah.
Munculnya Khawarij: Ekstremisme yang Mengguncang
Hasil tahkim yang dianggap tidak adil oleh sebagian besar pengikut Ali memicu kemarahan dan melahirkan kelompok baru yang dikenal sebagai Khawarij (الخوارج). Kelompok ini, yang berpegang teguh pada prinsip "La hukma illa lillah" (tidak ada keputusan kecuali dari Allah), menolak hasil tahkim dan menganggap Ali dan Muawiyah sebagai kafir karena telah melanggar prinsip-prinsip Islam dalam menyelesaikan konflik. Khawarij melakukan tindakan-tindakan ekstremis, termasuk pembunuhan tokoh-tokoh penting seperti Ali bin Abi Thalib.
Pembunuhan Ali pada tahun 40 H/661 M semakin memperparah situasi. Kematian Khalifah keempat ini meninggalkan kekosongan kepemimpinan yang kembali memicu perebutan kekuasaan. Hasan bin Ali, putra Ali, diangkat sebagai Khalifah pengganti, namun kepemimpinannya sangat singkat.
Amul Jamaah: Jalan Menuju Perdamaian dan Berdirinya Dinasti Umayyah
Hasan bin Ali, menyadari bahwa pertempuran yang terus berlanjut hanya akan semakin melemahkan umat Islam, mengambil keputusan yang berani dan bersejarah. Ia melakukan perjanjian damai dengan Muawiyah bin Abu Sufyan, menyerahkan kekuasaan kepadanya pada tahun 41 H/661 M. Perjanjian ini, yang ditandai dengan penyerahan kekuasaan secara damai di Maskin, Kufah, menandai berakhirnya Fitnah al-Kubra dan dimulainya era Amul Jamaah.
Amul Jamaah bukan hanya sekadar perjanjian damai. Ia menandai berakhirnya periode konflik internal yang berkepanjangan dan membuka jalan bagi konsolidasi kekuasaan di bawah kepemimpinan Muawiyah. Dengan demikian, Amul Jamaah menjadi titik balik sejarah Islam, menandai transisi dari sistem khilafah yang bersifat konsensual menuju sistem monarki herediter yang diwariskan secara turun temurun. Sistem ini kemudian diadopsi oleh dinasti-dinasti Islam selanjutnya, seperti Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Fatimiyah.
Peristiwa ini juga menandai berdirinya Dinasti Umayyah, sebuah dinasti yang memainkan peran penting dalam sejarah Islam selama hampir satu abad. Ambisi politik keluarga Bani Umayyah untuk menguasai seluruh wilayah kekhalifahan dan mengungguli suku-suku lain di Jazirah Arab menjadi faktor penting dalam keberhasilan Muawiyah dalam meraih kekuasaan.
Meskipun Amul Jamaah membawa perdamaian, ia juga meninggalkan warisan yang kompleks. Perpecahan yang terjadi selama Fitnah al-Kubra meninggalkan bekas luka mendalam dalam tubuh umat Islam, dan perbedaan pandangan mengenai kepemimpinan dan interpretasi ajaran Islam terus berlanjut hingga saat ini. Amul Jamaah, sebagai titik balik sejarah, tetap menjadi subjek studi dan interpretasi yang beragam, mencerminkan kompleksitas sejarah dan dinamika politik dunia Islam. Pemahaman yang komprehensif terhadap Amul Jamaah membutuhkan analisis mendalam terhadap konteks historis, sosial, dan politik yang melatarbelakangi peristiwa tersebut.