Bencana alam, peristiwa dahsyat yang tak terduga, kerap menguji keimanan dan ketaatan umat manusia. Di tengah kepanikan dan perjuangan untuk bertahan hidup, pertanyaan mengenai hukum membatalkan salat—ibadah wajib bagi umat Islam—seringkali muncul. Artikel ini akan mengupas tuntas pandangan Islam terkait hal ini, merujuk pada ajaran agama dan pendapat para ulama, khususnya dalam konteks prioritas keselamatan jiwa.
Salat, sebagai rukun Islam kedua, memiliki kedudukan yang sangat penting. Al-Qur’an secara tegas memerintahkan pelaksanaannya, seperti yang tertera dalam surah Al-Hajj ayat 78: (Ayat tersebut sebaiknya ditulis dalam huruf Arab dan transliterasi latin yang benar, serta terjemahannya yang akurat. Karena teks aslinya tidak terbaca dengan jelas, saya tidak dapat menuliskannya dengan tepat.) Ayat ini menekankan pentingnya salat, zakat, dan berpegang teguh pada tali Allah sebagai jalan keselamatan dan pertolongan.
Namun, kewajiban salat tidaklah mutlak tanpa mempertimbangkan konteks. Kitab Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, yang diterjemahkan oleh Khairul Amru Harahap, menjabarkan sejumlah hal yang membatalkan salat, seperti makan dan minum dengan sengaja, berbicara yang tidak berkaitan dengan salat, dan terkena najis. Namun, bencana alam menghadirkan dimensi yang berbeda, di mana keselamatan jiwa menjadi pertimbangan utama.
Dalam situasi bencana, ketika keselamatan diri terancam, membatalkan salat untuk menyelamatkan diri bukan hanya dibolehkan, tetapi bahkan menjadi suatu keharusan. Prof. Abdurrahman Dahlan, Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), menegaskan bahwa memaksakan salat dalam kondisi yang membahayakan diri adalah tindakan haram. "Kalau sampai membahayakan, bahkan haram. Dia mengorbankan keselamatannya, padahal tidak dituntut kondisi seperti itu untuk melaksanakan ibadah," tegasnya dalam wawancara beberapa waktu lalu.
Pendapat ini didasarkan pada prinsip dasar dalam Islam yang mengutamakan pelestarian jiwa. Islam tidak pernah mengajarkan pengorbanan diri yang sia-sia, apalagi dalam konteks ibadah yang dapat ditunaikan di waktu lain. Dalam situasi darurat, seperti bencana alam, keselamatan jiwa menjadi prioritas utama, mengungguli kewajiban salat yang dapat diqadha atau dijamak.
Prof. Dahlan melanjutkan, "Karena salat bisa diulang kalau keadaannya sudah aman. Tapi mengorbankan kepentingan keselamatan untuk salat yang bisa di waktu lapang, bahkan bisa dijamak atau diqadha, namun dia tetap memaksakan diri itu tidak sesuai dengan ajaran Islam." Beliau menekankan pentingnya memahami rukhsah (keringanan) dalam Islam, yang memberikan kelonggaran dalam menjalankan ibadah dalam kondisi tertentu demi menjaga keselamatan dan kemaslahatan.
Menariknya, konteks ini juga menyangkut citra Islam di mata pemeluk agama lain. Prof. Dahlan menyoroti pentingnya pemahaman yang benar tentang rukhsah ini agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. "Apalagi jika dilihat oleh penganut agama lain, itu membuat orang menjauhi agama karena menganggap memang begitu ajaran Islam. Padahal tidak seperti itu," ujarnya. Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya komunikasi dan pemahaman yang tepat tentang ajaran Islam, khususnya dalam situasi yang kompleks seperti bencana alam.
Lebih lanjut, perlu dipahami bahwa "membatalkan salat" dalam konteks ini bukan berarti meninggalkan salat secara sengaja dan tanpa alasan. Ini merupakan tindakan terpaksa demi menjaga keselamatan jiwa, yang dibenarkan oleh syariat Islam. Setelah kondisi aman tercipta, salat yang tertinggal dapat diqadha (diganti) sesuai ketentuan yang berlaku. Proses penggantian salat ini tidak mengurangi nilai ibadah, karena niat dan upaya untuk melaksanakannya tetap ada.
Dalam konteks praktis, beberapa hal perlu diperhatikan saat menghadapi bencana alam:
- Prioritaskan keselamatan: Langkah pertama dan terpenting adalah menyelamatkan diri dan keluarga dari bahaya. Jangan sampai ibadah mengorbankan keselamatan jiwa.
- Cari tempat aman: Jika memungkinkan, carilah tempat yang aman untuk melaksanakan salat, meskipun mungkin tidak sempurna atau terlambat.
- Jamak dan Qadha: Manfaatkan ketentuan jamak (menggabungkan dua waktu salat) dan qadha (mengganti salat yang tertinggal) jika kondisi memungkinkan.
- Niat yang tulus: Meskipun salat dilakukan dalam kondisi darurat, niat yang tulus dan ikhlas tetap menjadi kunci penerimaan ibadah.
- Berdoa dan berserah diri: Berdoa kepada Allah SWT memohon perlindungan dan keselamatan merupakan hal yang sangat dianjurkan dalam situasi sulit.
Kesimpulannya, dalam menghadapi bencana alam, keselamatan jiwa menjadi prioritas utama yang dibenarkan oleh ajaran Islam. Membatalkan salat untuk menyelamatkan diri bukanlah pelanggaran, melainkan tindakan yang dibolehkan bahkan diharuskan demi menjaga keselamatan. Setelah keadaan aman, salat yang tertinggal dapat diqadha dengan tenang dan khusyuk. Pemahaman yang benar tentang rukhsah dan prinsip-prinsip dasar Islam sangat penting dalam menghadapi situasi darurat seperti ini, guna menghindari kesalahpahaman dan menjaga citra Islam yang baik di mata dunia. Prioritas utama adalah keselamatan jiwa, kemudian baru ibadah dapat dijalankan sesuai kemampuan dan kondisi yang ada. Dengan demikian, keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT tetap terjaga, bahkan di tengah ujian yang berat sekalipun.