Polemik yang membelit Gus Miftah, Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Umat Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, berlanjut pasca pengunduran dirinya. Bukannya mereda, gelombang dukungan justru berdatangan, terutama dari Sunhaji, penjual es teh yang menjadi objek candaan kontroversial Miftah, dan Aliansi Santri Jalanan. Mereka kompak mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk menolak pengunduran diri Miftah.
Insiden bermula dari sebuah video yang viral di media sosial. Dalam video tersebut, tampak Gus Miftah, saat mengisi sebuah acara sholawatan, melontarkan celetukan yang dinilai menghina Sunhaji, penjual es teh yang hadir di acara tersebut. Kalimat dalam bahasa Jawa yang diakhiri dengan kata-kata kasar dan bernada meremehkan, menimbulkan kontroversi dan kecaman luas di masyarakat. Suara tawa hadirin yang terdengar dalam video semakin memperburuk situasi.
Reaksi terhadap ucapan Gus Miftah pun beragam. Sejumlah tokoh agama dan masyarakat mengecam keras tindakan tersebut. KH Cholil Nafis, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, misalnya, menyatakan kekecewaannya dan menyoroti kurangnya etika dan kesantunan Gus Miftah dalam berinteraksi dengan penjual es teh yang tengah mencari nafkah. KH Cholil Nafis dengan tegas menyatakan bahwa tindakan tersebut tidak pantas ditiru, apalagi oleh para ulama yang seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat. Beliau menekankan pentingnya etika dan kesantunan dalam berdakwah dan berinteraksi dengan siapapun, terlebih di hadapan khalayak ramai. Pernyataan KH Cholil Nafis ini menjadi representasi dari banyak suara yang mengecam tindakan Gus Miftah dan menyerukan perlunya pertanggungjawaban atas ucapannya yang dinilai melukai perasaan banyak orang.
"Orang jualan teh itu sedang mencari rezeki dengan cara yang halal. Tentu sesuai dengan kapasitas masing-masing orang mencari rezeki," tegas KH Cholil Nafis dalam pernyataan resmi MUI. Beliau menambahkan, "Yang kaya gitu jangan ditiru ya dek. Goblok-goblokin orang jualan itu tanda tak belajar etika. Apalagi di depan umum saat pengajian." Pernyataan ini secara gamblang menyoroti aspek etika dan moral yang menjadi landasan penting dalam berdakwah dan berinteraksi sosial. Kritik tajam ini menjadi sorotan publik dan semakin memperkuat desakan agar Gus Miftah bertanggung jawab atas pernyataannya.
Di tengah gelombang kecaman, Gus Miftah menunjukkan sikap yang terbilang bertanggung jawab. Ia langsung mengunjungi Sunhaji di rumahnya di Grabag, Magelang, Jawa Tengah, untuk meminta maaf secara langsung. Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah isyarat damai, di mana Sunhaji menyatakan telah memaafkan Gus Miftah dan tidak menyimpan rasa sakit hati atas kejadian tersebut. Sikap legowo Sunhaji ini, meskipun di tengah kontroversi yang berkembang, menunjukkan sebuah kearifan lokal yang patut diapresiasi. Namun, permintaan maaf Gus Miftah tidak serta merta meredam kontroversi.
Dua hari setelah permintaan maaf kepada Sunhaji, Gus Miftah mengambil keputusan mengejutkan dengan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden. Pengunduran diri ini disampaikan melalui pernyataan resmi di Ponpes Ora Aji Sleman. Dalam pernyataannya, Miftah menyatakan keputusan tersebut diambil setelah melalui perenungan yang mendalam dan didasari kesadaran akan kesalahannya. Pengunduran diri ini menjadi puncak dari rangkaian peristiwa yang berawal dari celetukan kontroversialnya.
Presiden Prabowo Subianto, menanggapi pengunduran diri Gus Miftah dengan sikap yang terbilang bijak dan menghargai. Beliau menyatakan bahwa pengunduran diri tersebut merupakan tindakan yang bertanggung jawab dan ksatria. Prabowo menilai Gus Miftah telah menyadari kesalahannya dan bertanggung jawab atas ucapannya. Sikap Presiden Prabowo ini menunjukkan sebuah kepemimpinan yang arif dan mengedepankan nilai-nilai keadilan dan tanggung jawab. Pernyataan Prabowo yang menghargai sikap kesatria Gus Miftah juga menjadi sebuah pesan moral bagi publik, bahwa mengakui kesalahan dan bertanggung jawab atas tindakan sendiri merupakan hal yang terpuji.
Namun, pengunduran diri Gus Miftah justru memicu reaksi yang tak terduga. Sunhaji, penjual es teh yang menjadi objek candaan Miftah, malah meminta Presiden Prabowo untuk menolak pengunduran diri tersebut. Dalam sebuah video yang beredar luas, Sunhaji terlihat terisak-isak sembari menyampaikan permohonan kepada Presiden Prabowo agar tidak menerima pengunduran diri Gus Miftah. Sunhaji menyatakan telah memaafkan Gus Miftah dan berharap agar Gus Miftah tetap menjalankan tugasnya sebagai Utusan Khusus Presiden. Sikap Sunhaji ini menunjukkan sebuah jiwa besar dan pemaafan yang patut diacungi jempol. Permintaan Sunhaji ini menjadi sebuah paradoks yang menarik, di mana korban dari ucapan kontroversial Gus Miftah justru meminta agar Gus Miftah tetap menjabat.
Dukungan serupa juga datang dari Aliansi Santri Jalanan. Mereka menggelar aksi di Titik Nol Kilometer Jogja untuk menyatakan penolakan terhadap pengunduran diri Gus Miftah. Mereka menilai Gus Miftah sebagai sosok yang tepat untuk menduduki jabatan tersebut dan telah banyak memberikan kontribusi positif bagi masyarakat, khususnya kalangan santri jalanan. Aliansi Santri Jalanan melihat Gus Miftah sebagai sosok yang mengayomi dan memahami kehidupan mereka. Dukungan dari Aliansi Santri Jalanan ini menunjukkan bahwa Gus Miftah memiliki basis massa yang cukup kuat dan loyalitas yang tinggi dari kalangan santri jalanan. Aksi ini menjadi bukti nyata bahwa kontroversi yang terjadi tidak sepenuhnya meruntuhkan citra Gus Miftah di mata sebagian masyarakat.
Peristiwa ini menjadi sorotan publik dan memunculkan berbagai interpretasi. Ada yang menilai pengunduran diri Gus Miftah sebagai tindakan yang tepat dan bertanggung jawab, sementara yang lain melihatnya sebagai sebuah kehilangan bagi upaya kerukunan umat beragama. Permintaan Sunhaji dan Aliansi Santri Jalanan untuk menolak pengunduran diri Gus Miftah semakin memperumit situasi dan menimbulkan pertanyaan: apakah pengunduran diri Gus Miftah merupakan solusi yang tepat, atau justru akan menimbulkan masalah baru? Kontroversi ini menyoroti kompleksitas isu kerukunan umat beragama dan pentingnya etika komunikasi publik, khususnya bagi tokoh-tokoh agama yang memiliki pengaruh besar di masyarakat. Peristiwa ini juga menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya bijak dalam menggunakan media sosial dan berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan di depan publik. Dampak dari sebuah ucapan, sekecil apapun, bisa berdampak luas dan menimbulkan konsekuensi yang tak terduga. Kasus Gus Miftah ini menjadi pengingat pentingnya tanggung jawab dan etika dalam kehidupan publik.