Ibadah salat, tiang agama Islam, terdiri dari rangkaian gerakan yang terstruktur dan sarat makna. Salah satu gerakan yang seringkali luput dari perhatian, namun memiliki peran krusial dalam kesempurnaan salat, adalah i’tidal. Gerakan berdiri tegak setelah ruku’ ini, lebih dari sekadar transisi fisik; ia merupakan manifestasi dari ketaatan dan keteguhan hati di hadapan Allah SWT. Pemahaman yang mendalam tentang i’tidal, baik dari segi tata cara maupun bacaan yang dianjurkan, menjadi kunci bagi setiap muslim untuk menunaikan salat dengan khusyuk dan sesuai tuntunan Rasulullah SAW.
I’tidal: Definisi dan Etimologi
Secara terminologi, i’tidal diartikan sebagai gerakan berdiri tegak setelah ruku’. Istilah ini, sebagaimana dijelaskan dalam buku "Ritual Shalat Rasulullah SAW Menurut 4 Mazhab" karya Isnan Ansory, merujuk pada kondisi tubuh yang benar-benar tegak lurus dan stabil. Secara etimologi, kata "i’tidal" berakar dari kata "istiqamah" yang berarti lurus, teguh, dan konsisten, serta "istiwa’" yang bermakna tegak lurus dan seimbang. Kedua makna ini merefleksikan esensi spiritual i’tidal, yaitu tegaknya jiwa dalam ketaatan kepada Allah SWT setelah merendahkan diri dalam ruku’. Gerakan ini bukan sekadar pemulihan postur tubuh, melainkan juga simbol kebangkitan spiritual setelah momen introspeksi diri.
Landasan Hadis: Tuntunan Rasulullah SAW
Keutamaan dan tata cara i’tidal mendapat penguatan langsung dari hadis Nabi Muhammad SAW. Hadis al-musi’u shalatuhu, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, menceritakan kisah seorang sahabat yang belum sempurna pemahamannya tentang salat. Rasulullah SAW, dengan penuh kasih sayang, membimbing sahabat tersebut, termasuk menjelaskan secara detail gerakan i’tidal. Dalam hadis tersebut, Rasulullah SAW bersabda (HR. Bukhari 757, Muslim 397): "…lalu rukuk dengan tuma’ninah, kemudian angkat badanmu hingga lurus."
Riwayat lain (HR. Bukhari no. 793, Muslim no. 397) menambahkan detail penting: "…kemudian rukuk sampai tuma’ninah dalam rukuknya, kemudian mengangkat badannya sampai berdiri lurus." Kedua riwayat ini menekankan pentingnya tuma’ninah, yaitu ketenangan dan kesungguhan dalam menjalankan setiap gerakan salat, termasuk i’tidal. Keteguhan fisik dalam berdiri tegak sejatinya merefleksikan keteguhan hati dalam menjalankan perintah Allah SWT. Tidak cukup hanya berdiri, tetapi harus berdiri dengan khusyuk dan penuh kesadaran.
Bacaan Doa I’tidal: Penguatan Spiritual
Setelah berdiri tegak sempurna dalam posisi i’tidal, sambil mengangkat kedua tangan, dianjurkan membaca doa. Sebagaimana dijelaskan dalam buku "Seri Fiqih Kehidupan 3 Shalat" karya Ahmad Sarwat, doa i’tidal yang paling umum adalah: "سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ" (Sami’allahu liman hamidah). Artinya: "Allah mendengar orang-orang yang memuji-Nya." Doa ini merupakan pengakuan atas keagungan Allah SWT dan penegasan bahwa setiap pujian dan ibadah kita didengar dan diterima-Nya.
Dua Pilihan Bacaan: Singkat dan Panjang
Selain doa tersebut, terdapat dua pilihan bacaan doa i’tidal yang dianjurkan:
-
Bacaan Pendek: "رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ" (Rabbana walakal-hamdu). Artinya: "Wahai Tuhan kami, bagi-Mu-lah segala pujian." Hadis dari Abu Hurairah RA menyebutkan bahwa Rasulullah SAW membaca doa ini setelah i’tidal (HR. Ahmad, Bukhari, dan Muslim). Bacaan ini singkat, namun sarat makna syukur dan pengagungan kepada Allah SWT.
-
Bacaan Panjang: "رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءُ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءُ الأَرْضِ وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ" (Rabbana lakalhamdu mil’us samaawaati wamil’ul ardhi wamil’u maa syi’ta min syai’in ba’du). Artinya: "Ya Allah, Ya Tuhan kami, bagi-Mu-lah segala puji, sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa saja yang Engkau kehendaki sesudah itu." Bacaan ini lebih panjang dan lebih eksplisit dalam mengungkapkan rasa syukur dan pengagungan yang tak terbatas kepada Allah SWT atas segala ciptaan dan karunia-Nya. Hadis dari Ubaid bin al-Hasan dari Abu Aufa RA menyebutkan bahwa Rasulullah SAW juga membaca doa ini (HR. Nasa’i).
Pilihan antara bacaan pendek dan panjang merupakan sunnah yang dianjurkan. Membaca salah satu dari keduanya telah cukup untuk memenuhi tuntunan sunnah. Yang terpenting adalah keikhlasan dan kekhusyukan dalam melafalkannya.
Posisi Tangan dalam I’tidal: Perbedaan Pendapat Ulama
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai posisi tangan saat i’tidal. Perbedaan ini tidak mengurangi kesempurnaan salat, karena keduanya merupakan pendapat yang kuat dan didasarkan pada pemahaman hadis dan ijtihad para ulama.
-
Tangan Lurus Tidak Bersedekap: Pendapat ini menyatakan bahwa tangan sebaiknya diluruskan di samping tubuh tanpa bersedekap. Mazhab Syafi’i, misalnya, mensunahkan posisi tangan yang dilepaskan (irsal) di samping tubuh. Hal ini berbeda dengan posisi tangan saat berdiri sebelum ruku’ yang umumnya diletakkan di depan dada. Kitab Taudhihu al-Ahkam syarah kitab Bulugh al-Maram karya Syekh Abdullah al-Bassam juga mendukung pendapat ini.
-
Tangan Bersedekap: Pendapat lain menyarankan agar tangan diletakkan dengan cara bersedekap di atas dada. Pendapat ini didukung oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz yang berpendapat bahwa bersedekap saat i’tidal merupakan bagian dari praktik yang disyariatkan. Beliau berargumen bahwa tidak ada perbedaan yang disyariatkan antara posisi tangan saat ruku’ dan i’tidal. Hadis dari Imam Nasa’i yang diriwayatkan oleh Wa’il bin Hujr RA juga mendukung pendapat ini, yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW menggenggam tangan kiri dengan tangan kanan saat berdiri dalam salat, termasuk saat i’tidal.
Perbedaan pendapat ini menunjukkan kekayaan dan kedalaman pemahaman fiqih dalam Islam. Penting bagi setiap muslim untuk memahami perbedaan ini, namun tidak perlu terjebak dalam perdebatan. Memilih salah satu pendapat yang kuat dan konsisten dengan praktik yang dianut merupakan hal yang dibolehkan.
Kesimpulan: I’tidal sebagai Gerakan yang Penuh Makna
I’tidal, meskipun tampak sebagai gerakan sederhana, merupakan bagian integral dari salat yang sarat makna. Gerakan berdiri tegak setelah ruku’ ini bukan sekadar transisi fisik, melainkan juga simbol kebangkitan spiritual, kesiapan untuk melanjutkan ibadah, dan pengakuan atas keagungan Allah SWT. Dengan memahami tata cara dan bacaan doa i’tidal yang dianjurkan, serta memperhatikan perbedaan pendapat ulama mengenai posisi tangan, setiap muslim dapat menunaikan salat dengan lebih khusyuk dan sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Semoga uraian ini dapat menambah wawasan dan meningkatkan kualitas ibadah kita.