Mushab bin Umair, sahabat Rasulullah SAW, dikenal bukan hanya karena keislamannya yang teguh, melainkan juga karena senyumnya yang menawan. Senyum itu, jauh dari sekadar ekspresi wajah, menjadi instrumen dakwah yang ampuh, meluluhkan hati para pemimpin Arab yang kala itu masih terjerat dalam belenggu kesyirikan. Kisah hidupnya, yang diwarnai peralihan dari kehidupan mewah menuju kesederhanaan demi teguh memegang iman, menjadi teladan bagi umat Islam sepanjang zaman. Lebih dari sekadar kisah, ini adalah studi kasus bagaimana pendekatan yang santun dan penuh kasih sayang mampu mentransformasi hati yang keras menjadi lunak dan terbuka terhadap kebenaran.
Mushab, berasal dari keluarga terpandang suku Quraisy, hidup bergelimang kemewahan. Namun, setelah memeluk Islam, ia meninggalkan semua itu, memilih hidup sederhana, namun kaya akan keimanan dan akhlak mulia. Gelar "Mushab al-Khair" (Mushab yang baik) yang disematkan kepadanya bukanlah sekadar pujian, melainkan cerminan sejati dari pribadi dan karakternya. Kebaikannya terpancar bukan hanya dari perbuatan, tetapi juga dari senyumnya yang teduh dan menawan – sebuah senyum yang menjadi kunci keberhasilan dakwahnya di masa-masa awal penyebaran Islam.
Pada masa itu, menyampaikan ajaran Islam bukanlah perkara mudah. Musuh-musuh Islam, kaum musyrik, menentang dengan keras. Namun, Mushab tidak menggunakan kekerasan atau intimidasi. Ia memilih pendekatan yang berbeda, pendekatan yang berlandaskan kasih sayang dan kearifan. Senyumnya menjadi senjata ampuh, mencairkan es permusuhan dan membuka pintu hati yang tertutup rapat. Ia menarik banyak orang, termasuk para pemimpin berpengaruh di Arab, bukan dengan kata-kata kasar atau sikap keras, melainkan dengan senyum hangat dan santun yang menyertai setiap penjelasan ajaran Islam.
Salah satu kisah yang paling mengesankan adalah pertemuannya dengan Usaid bin Hudair dan Sa’ad bin Mu’adz, dua tokoh berpengaruh dari sebuah kabilah yang masih menganut paham musyrik. Ketika Mushab, bersama As’ad bin Jurarah, datang untuk berdakwah, Sa’ad bin Mu’adz, yang khawatir ajaran Islam akan memengaruhi keyakinan rakyatnya, memerintahkan Usaid untuk menghentikan mereka.
Usaid, dengan tombak di tangan, menghampiri Mushab dengan penuh amarah. Ia bukannya berdialog dengan santun, melainkan memaki dan mengancam Mushab dengan kata-kata kasar yang hampir saja berujung kekerasan, andai saja As’ad bin Jurarah tidak turut hadir. Meskipun mereka membenci As’ad karena keislamannya, mereka tetap menghormati keluarganya.
Dihadapkan pada kemarahan Usaid yang meluap-luap, Mushab tidak membalas dengan kemarahan serupa. Sebaliknya, ia menanggapi dengan senyuman hangat dan kata-kata yang penuh kelembutan. "Bagaimana kalau engkau duduk sebentar. Kita berbincang-bincang sejenak. Kalau engkau senang, terimalah. Kalau engkau tidak senang, engkau dijauhkan dari apa yang tidak engkau senangi," ujar Mushab dengan tenang.
Sikap Mushab yang santun dan senyumnya yang tulus berhasil meluluhkan hati Usaid. Amarah Usaid sirna seketika. Ia meletakkan tombaknya dan mendengarkan penjelasan Mushab tentang Islam. Mushab, dengan kata-kata yang terpilih dan senyum penuh kasih sayang, membacakan ayat-ayat Al-Qur’an. Kejernihan hati dan ketulusan niat Mushab begitu terasa hingga Usaid terkesima.
"Demi Allah, aku sudah melihat di wajahmu keislaman sebelum aku berbicara," kata Usaid, terharu. Pernyataan ini menunjukkan betapa dahsyatnya pengaruh senyum dan sikap santun Mushab. Ia mampu menyingkapkan kebenaran di balik amarah dan prasangka.
Setelah menjelaskan tata cara masuk Islam, Mushab dan As’ad membantu Usaid mengucapkan kalimat syahadat. Usaid, yang baru saja menyatakan keislamannya, kemudian mengusulkan agar mereka juga berdakwah kepada Sa’ad bin Mu’adz, pemimpin kabilah yang sangat disegani. Mereka meyakini bahwa jika Sa’ad memeluk Islam, seluruh kabilah akan mengikutinya.
Dengan strategi yang sama – kelembutan perkataan, ketulusan senyum, dan keinginan kuat untuk mengajak manusia kepada kebenaran – Mushab dan As’ad berhasil membimbing Sa’ad bin Mu’adz ke jalan Islam. Keislaman Sa’ad disusul oleh seluruh kaumnya, membuka jalan bagi hidayah Allah SWT kepada suku Anshar.
Kisah Mushab bin Umair bukanlah sekadar cerita tentang seorang sahabat Rasulullah. Ini adalah pelajaran berharga tentang pentingnya akhlak mulia dan pendekatan yang santun dalam berdakwah. Senyumnya, yang dibalut dengan keikhlasan dan kasih sayang, menjadi bukti nyata bahwa kebenaran dapat disampaikan tanpa kekerasan, tanpa intimidasi, melainkan dengan kelembutan dan kearifan. Ia menunjukkan bahwa hati yang keras sekalipun dapat dilunakkan dengan senyuman tulus dan kata-kata yang bijak.
Lebih jauh lagi, kisah ini menggarisbawahi pentingnya kesabaran dan keteguhan hati dalam berdakwah. Mushab tidak patah semangat dihadapkan pada kemarahan dan penolakan. Ia tetap teguh pada pendiriannya, menunjukkan keteladanan dalam menghadapi tantangan. Senyumnya bukan sekadar hiasan, melainkan cerminan keimanan yang kuat dan tekad yang bulat untuk menyebarkan ajaran Islam.
Dalam konteks kekinian, kisah Mushab bin Umair masih sangat relevan. Di era digital yang serba cepat dan cenderung agresif ini, pendekatan yang santun dan penuh empati masih sangat dibutuhkan dalam menyebarkan nilai-nilai kebaikan dan ajaran agama. Senyum Mushab, yang telah menorehkan sejarah dalam perjalanan dakwah Islam, menjadi inspirasi bagi kita semua untuk senantiasa berdakwah dengan cara yang bijak, penuh kasih sayang, dan menghormati perbedaan. Senyumnya adalah warisan berharga yang perlu kita lestarikan dan teladani dalam kehidupan sehari-hari. Ia mengingatkan kita bahwa dakwah yang efektif bukanlah yang didasarkan pada paksaan, melainkan pada ketulusan hati dan keindahan akhlak. Senyum Mushab, sebuah simbol kearifan dan kasih sayang, akan terus menginspirasi generasi demi generasi untuk menyebarkan kebaikan dan cahaya Islam ke seluruh penjuru dunia.