Nama Gus Miftah kembali menjadi sorotan publik, kali ini bukan karena pencapaian dakwahnya yang membanggakan, melainkan akibat sebuah video viral yang menampilkan ucapannya yang dinilai kasar terhadap seorang pedagang es teh. Insiden yang terjadi di Magelang ini memicu perdebatan sengit di dunia maya, mengangkat kembali pertanyaan mendasar tentang gaya dakwah unik dan terkadang kontroversial yang selama ini menjadi ciri khasnya. Lantas, siapakah sebenarnya Gus Miftah, dan bagaimana gaya dakwahnya yang mampu menarik perhatian sekaligus menuai kritik?
Profil Lengkap Sang Pendakwah Millenial:
Miftah Maulana Habiburrahman, atau yang lebih dikenal dengan Gus Miftah, lahir di Lampung pada 5 Agustus 1981. Ia bukan sosok yang tiba-tiba muncul di panggung dakwah. Sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, Gus Miftah mewarisi garis keturunan Kiai Ageng Hasan Besari, pendiri Pondok Pesantren Tegalsari di Ponorogo, Jawa Timur. Silsilah keluarganya yang religius ini menjadi landasan awal perjalanan spiritualnya.
Pendidikan formal Gus Miftah ditempuh di lembaga pendidikan Islam, mulai dari Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Pondok Pesantren Bustanul Ulum. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, mengambil program studi Pendidikan Islam. Riwayat pendidikan ini menunjukkan komitmennya dalam mendalami ilmu agama secara formal.
Namun, perjalanan Gus Miftah tak hanya berkutat di ruang kelas. Sejak muda, ia aktif berdakwah, menebar pesan-pesan keagamaan di berbagai kesempatan. Komitmennya ini berbuah manis dengan didirikannya Pondok Pesantren Ora Aji di Sleman, Yogyakarta. Pesantren ini bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan juga pusat kegiatan keagamaan yang menarik minat banyak kalangan, menunjukkan kemampuannya dalam membangun komunitas dan menyebarkan ajaran agama secara efektif.
Gaya Dakwah yang Unik dan Menarik Perhatian:
Gaya dakwah Gus Miftah berbeda dari pendakwah pada umumnya. Ia dikenal dengan pendekatan yang santai, humoris, dan mudah dipahami, terutama oleh kalangan muda. Berbeda dengan ceramah-ceramah yang kaku dan formal, Gus Miftah mampu membawakan materi dakwah dengan gaya bahasa yang kekinian, mencampurkan guyonan dan analogi yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang membuatnya berhasil menjangkau audiens yang lebih luas, khususnya generasi milenial yang terkadang merasa teralienasi oleh pendekatan dakwah tradisional.
Keunikan Gus Miftah juga terletak pada keberaniannya berdakwah di tempat-tempat yang tidak biasa, seperti klub malam. Langkah ini, meskipun menuai pro dan kontra, menunjukkan komitmennya untuk menjangkau semua kalangan, termasuk mereka yang berada di luar lingkaran komunitas keagamaan konvensional. Baginya, dakwah bukan sekadar ceramah di masjid atau pesantren, melainkan sebuah upaya untuk menyebarkan nilai-nilai agama di mana pun dan kepada siapa pun. Strategi ini, meskipun terkesan kontroversial, menunjukkan kreativitas dan keberaniannya dalam beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Namun, pendekatan yang santai dan humoris ini juga memiliki sisi negatif. Seperti yang terlihat dalam video viral tersebut, batasan antara humor dan ucapan yang tidak pantas terkadang menjadi kabur. Insiden Magelang menjadi bukti bahwa gaya dakwah yang terlalu santai dapat berujung pada kontroversi, menimbulkan persepsi negatif dan bahkan menyinggung perasaan sebagian orang.
Kontroversi dan Tantangan Dakwah Modern:
Video viral tersebut menjadi sorotan tajam, menunjukkan dilema yang dihadapi Gus Miftah dan pendakwah modern lainnya. Di satu sisi, mereka dituntut untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman, menggunakan media dan pendekatan yang relevan dengan audiens milenial. Di sisi lain, mereka juga harus menjaga etika dan kesantunan dalam berdakwah, menghindari ucapan atau tindakan yang dapat menyinggung atau melukai perasaan orang lain.
Kejadian ini juga mengundang pertanyaan tentang bagaimana menyeimbangkan antara dakwah yang efektif dan etika komunikasi yang baik. Humor dan guyonan memang dapat menjadi alat yang efektif untuk menyampaikan pesan, namun harus digunakan dengan bijak dan penuh pertimbangan. Kebebasan berekspresi tidak berarti kebebasan untuk menyinggung atau menghina orang lain.
Gus Miftah, dengan gaya dakwahnya yang unik dan kontroversial, menunjukkan tantangan dan kompleksitas dakwah di era digital. Ia berhasil menjangkau audiens yang luas, namun juga harus menghadapi risiko kontroversi dan kritik. Kejadian ini menjadi pelajaran berharga, bukan hanya bagi Gus Miftah sendiri, tetapi juga bagi para pendakwah lainnya, tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara kreativitas dan etika dalam berdakwah.
Peran sebagai Utusan Khusus Presiden:
Di tengah kontroversi tersebut, Gus Miftah juga mengemban amanah sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan yang diangkat pada tahun 2024. Penunjukan ini menunjukkan kepercayaan pemerintah terhadap kemampuannya dalam mempromosikan toleransi antarumat beragama dan memperkuat kerukunan di Indonesia.
Peran ini tentu saja menjadi tantangan tersendiri. Ia harus mampu menjalankan tugasnya dengan bijak, menjaga netralitas dan integritas, serta mampu menjadi jembatan komunikasi antar berbagai kelompok agama di Indonesia. Kontroversi yang baru-baru ini terjadi dapat menjadi ujian bagi kemampuannya dalam menjalankan tugas penting ini. Publik akan melihat bagaimana Gus Miftah mampu mengatasi tantangan ini dan membuktikan kredibilitasnya sebagai Utusan Khusus Presiden.
Kesimpulan:
Gus Miftah adalah sosok pendakwah yang kompleks dan menarik. Gaya dakwahnya yang unik dan kontroversial membuatnya menjadi figur publik yang dikenal luas, namun juga menimbulkan pro dan kontra. Kejadian video viral tersebut menjadi pengingat penting tentang pentingnya menjaga etika dan kesantunan dalam berdakwah, meskipun dengan pendekatan yang modern dan kekinian. Perannya sebagai Utusan Khusus Presiden menambah kompleksitas perannya, menuntutnya untuk lebih bijak dan bertanggung jawab dalam setiap ucapan dan tindakannya. Ke depannya, publik akan terus mengamati bagaimana Gus Miftah akan merespon kontroversi ini dan bagaimana ia akan menjalankan tugasnya sebagai Utusan Khusus Presiden dalam mempromosikan kerukunan beragama di Indonesia. Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya keseimbangan antara kreativitas, efektivitas, dan etika dalam berdakwah di era digital yang dinamis ini. Bagaimana Gus Miftah mampu belajar dari pengalaman ini dan terus berkontribusi positif bagi masyarakat akan menjadi hal yang menarik untuk disimak.