Jakarta – Menahan amarah, sebuah ujian kesabaran yang kerap kali menguji keimanan. Dalam ajaran Islam, pengendalian diri, khususnya dalam menghadapi provokasi dan kemarahan, bukan sekadar dianjurkan, melainkan menjadi manifestasi ketakwaan sejati. Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat terdekat Rasulullah SAW, menjadi teladan yang hidup tentang bagaimana menahan amarah, sebuah tindakan yang berbuah pahala dan kemuliaan di sisi Allah SWT. Hadits dan ayat suci Al-Qur’an secara eksplisit menekankan pentingnya sifat terpuji ini.
Rasulullah SAW, sebagai suri tauladan utama umat Islam, mengajarkan umatnya untuk mengendalikan amarah dengan berbagai cara. Hadits riwayat Abu Hurairah RA, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dengan tegas menyatakan, “Orang yang kuat bukanlah orang yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya di saat marah.” Hadits ini menggarisbawahi bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada kekuatan fisik, melainkan pada kekuatan batin yang mampu menaklukkan godaan amarah. Kemampuan menahan amarah menjadi ukuran kekuatan spiritual seseorang, menunjukkan kedewasaan emosional dan ketahanan mental yang luar biasa.
Al-Qur’an juga memberikan tuntunan yang jelas mengenai pentingnya pengendalian amarah. Dalam surat Ali Imran ayat 133-134, Allah SWT berfirman: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” Ayat ini dengan jelas mengaitkan kemampuan menahan amarah dengan ketakwaan dan menjadikannya sebagai salah satu ciri khas orang-orang yang berhak mendapatkan ampunan dan surga Allah SWT. Kemampuan memaafkan, yang seringkali beriringan dengan pengendalian amarah, juga menjadi poin penting yang ditekankan dalam ayat tersebut. Keduanya merupakan manifestasi dari akhlak mulia yang sangat dihargai oleh Allah SWT.
Lebih dari sekadar ajaran teoritis, pentingnya menahan amarah diilustrasikan secara nyata dalam kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq, seperti yang dikisahkan dalam buku "Kisah Mengagumkan dalam Kehidupan Rasulullah SAW" karya Khoirul Anam. Suatu ketika, Rasulullah SAW sedang berbincang dengan Abu Bakar RA. Tiba-tiba, muncul seorang individu yang dengan sengaja mencela dan menghina Abu Bakar RA. Reaksi Rasulullah SAW sungguh mengejutkan. Beliau tetap tenang, diam, dan hanya tersenyum menanggapi penghinaan tersebut. Sikap Rasulullah SAW ini menunjukkan keteladanan yang luar biasa dalam mengendalikan amarah dan menghadapi provokasi.
Namun, berbeda dengan Rasulullah SAW, Abu Bakar RA, meskipun seorang sahabat yang setia dan dekat dengan Rasulullah SAW, tidak mampu menahan amarahnya. Ia merasa terhina dan tersinggung, sehingga membalas celaan tersebut dengan kata-kata yang mungkin sama kasarnya. Reaksi Abu Bakar RA ini, meskipun manusiawi, menunjukkan kelemahan dalam mengendalikan emosi.
Melihat reaksi Abu Bakar RA, Rasulullah SAW menunjukkan kemarahan yang terlihat jelas. Beliau bangkit berdiri, merengkuh pundak Abu Bakar RA, dan raut wajahnya memperlihatkan ketidaksetujuan yang mendalam. Abu Bakar RA, yang terkejut dengan reaksi Rasulullah SAW, bertanya dengan penuh tanda tanya, "Ya Rasulullah, ketika orang itu mencelaku, engkau tetap duduk dan diam. Namun, ketika aku membantah celaannya, engkau tampak marah dan berdiri?"
Jawaban Rasulullah SAW memberikan pencerahan yang mendalam tentang perbedaan signifikan antara menahan amarah dan membalasnya. Beliau menjelaskan, "Ketika kamu diam dan tidak membalas, ada malaikat yang menyertaimu dan dialah yang membantah celaan orang itu. Namun, ketika kamu mulai membantahnya, malaikat itu pergi dan yang datang adalah setan." Penjelasan ini sangat penting karena mengungkap realitas gaib yang menyertai tindakan manusia. Menahan amarah diiringi oleh pertolongan malaikat, sedangkan membalasnya justru mengundang campur tangan setan. Ini menunjukkan konsekuensi spiritual yang sangat nyata dari setiap tindakan yang kita lakukan.
Penjelasan Rasulullah SAW tidak berhenti sampai di situ. Beliau melanjutkan dengan memberikan tiga hikmah penting terkait kesabaran dan pengendalian diri:
Pertama, Rasulullah SAW menegaskan, "Ketika seorang hamba dizalimi, kemudian ia memaafkan karena Allah, niscaya Allah akan memuliakannya dengan pertolongan-Nya." Pemaafan, yang merupakan buah dari kesabaran dan pengendalian amarah, akan mendatangkan pertolongan dan kemuliaan dari Allah SWT. Ini menunjukkan bahwa kesabaran bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang akan dibalas dengan kebaikan yang berlipat ganda.
Kedua, Rasulullah SAW menyatakan, "Ketika seorang hamba memberi sedekah dan menginginkan kebaikan, Allah akan menambah banyak hartanya." Sedekah, yang merupakan bentuk kepedulian dan berbagi, juga dikaitkan dengan berkah dan peningkatan rezeki. Ini menunjukkan bahwa kebaikan yang kita berikan akan kembali kepada kita dengan berkah yang melimpah.
Ketiga, Rasulullah SAW mengingatkan, "Ketika seorang hamba meminta harta kepada manusia untuk memperbanyak hartanya, niscaya Allah tambahkan kepadanya kekurangan." Sikap tamak dan serakah yang mengejar harta dengan cara yang tidak halal akan berakibat sebaliknya, yaitu kekurangan dan kesulitan. Ini menunjukkan bahwa harta yang didapat dengan cara yang tidak benar tidak akan mendatangkan keberkahan.
Dalam kesempatan lain, Rasulullah SAW menekankan pentingnya pengendalian amarah dengan sabda yang singkat dan padat, tetapi sarat makna: "Jika engkau marah, diamlah. Jika engkau marah, diamlah. Jika engkau marah, diamlah." Pengulangan tiga kali kata "diamlah" menunjukkan betapa pentingnya menahan diri ketika amarah mulai membuncah. Diam, dalam konteks ini, bukanlah sekadar tidak berbicara, tetapi juga menahan segala bentuk reaksi negatif, baik fisik maupun verbal. Ini merupakan latihan spiritual yang membutuhkan ketekunan dan kesungguhan.
Kisah Abu Bakar RA ini memberikan pelajaran berharga bagi kita semua. Menahan amarah bukanlah hal yang mudah, tetapi merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang ingin mencapai ketakwaan sejati. Kemampuan mengendalikan emosi merupakan bukti kedewasaan spiritual dan kunci untuk meraih ridho Allah SWT. Dengan meneladani kesabaran Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA, kita dapat belajar untuk mengendalikan amarah dan meraih kemuliaan di sisi Allah SWT. Semoga kisah ini menjadi inspirasi bagi kita semua untuk senantiasa mengendalikan amarah dan mengutamakan kesabaran dalam menghadapi berbagai cobaan hidup. Kemampuan mengendalikan amarah bukan hanya menghindari perselisihan, tetapi juga membuka jalan menuju ketenangan batin dan kemuliaan di akhirat.