Jakarta – Peran pemimpin dalam Islam tak sekadar menjalankan roda pemerintahan, melainkan juga menjaga keadilan dan kesejahteraan umat. Oleh karena itu, sikap rakyat terhadap pemimpinnya merupakan elemen krusial yang turut menentukan keberhasilan kepemimpinan tersebut. Ajaran Islam, dengan bijaksananya, menetapkan pedoman bagi kaum Muslim dalam berinteraksi dengan pemimpin, bahkan ketika mereka merasa tidak puas atau bahkan membenci sang pemimpin. Bagaimana seharusnya sikap ideal tersebut? Berikut uraian komprehensif berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan interpretasi para ulama.
1. Ketaatan dalam Kebaikan: Pilar Utama Hubungan Rakyat dan Pemimpin
Ketaatan kepada pemimpin merupakan kewajiban fundamental bagi setiap Muslim, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an. Allah SWT menempatkan ketaatan kepada pemimpin sebagai urutan ketiga setelah ketaatan kepada-Nya dan Rasul-Nya. Hal ini dijelaskan dalam Surat An-Nisa ayat 59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.”
Ayat ini secara tegas memerintahkan ketaatan kepada ulil amri, istilah yang secara umum diartikan sebagai pemegang kekuasaan atau pemimpin. Namun, penting untuk memahami konteks ketaatan ini. Ketaatan tersebut hanya berlaku sejauh pemimpin menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya, berpegang teguh pada prinsip keadilan dan kebaikan.
Penjelasan lebih lanjut mengenai batasan ketaatan ini ditemukan dalam hadits riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Umar: “Mendengar dan menaati pemimpin hukumnya haq (wajib) selama tidak memerintahkan kemaksiatan. Jika diperintah untuk melakukan kemaksiatan, tidak wajib mendengar dan menaati.”
Hadits ini menegaskan bahwa ketaatan kepada pemimpin bukanlah ketaatan mutlak tanpa syarat. Ketaatan tersebut memiliki batasan yang jelas, yaitu tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama. Jika pemimpin memerintahkan kepada kemaksiatan, maka kewajiban taat tersebut gugur. Hal ini menekankan pentingnya keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT sebagai landasan utama dalam kehidupan seorang Muslim, bahkan dalam konteks hubungan dengan pemimpin duniawi.
2. Dukungan dan Nasihat yang Bijak: Menyeimbangkan Ketaatan dan Kritik Konstruktif
Selain ketaatan, Islam juga mengajarkan pentingnya memberikan dukungan dan nasihat kepada pemimpin dalam menegakkan kebenaran. Namun, dukungan dan nasihat ini harus dilakukan dengan cara yang bijak dan konstruktif, jauh dari sikap perlawanan atau pemberontakan.
Imam An-Nawawi menjelaskan, “Adapun nasihat untuk para pemimpin kaum muslimin adalah membantu mereka menegakkan kebenaran, mematuhi mereka dalam kebenaran, memerintahkan mereka untuk menjalankan kebenaran, mengingatkan mereka dengan lemah lembut, memberitahu mereka akan hak-hak kaum muslimin yang belum terpenuhi dan mereka belum mengetahui akan hal itu, tidak melancarkan perlawanan terhadap mereka, dan menumbuhkan kesadaran di hati masyarakat untuk mematuhi mereka.”
Sikap proaktif dalam mencegah pemimpin dari tindakan zalim juga merupakan bagian penting dari tanggung jawab rakyat. Ibnu Hajar Al-Asqalani menyatakan, “Salah satu nasihat terbesar untuk mereka (pemimpin) adalah mencegah mereka dari kelaliman dengan cara yang terbaik.”
Contoh teladan kepemimpinan yang menekankan pentingnya koreksi dan nasihat datang dari Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau berkata, “Wahai manusia, aku telah ditunjuk sebagai pemimpin kalian, dan aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Maka dari itu, jika aku berbuat baik, maka bantulah aku, dan jika aku membuat kesalahan, maka luruskanlah aku.” Pernyataan ini menunjukkan kepemimpinan yang terbuka terhadap kritik dan koreksi dari rakyatnya.
Umar bin Al-Khathab juga memberikan contoh serupa, “Orang yang paling aku sukai adalah orang yang mau memberitahukan aibku kepadaku.” Sikap keterbukaan ini menunjukkan pentingnya tanggung jawab bersama dalam membangun pemerintahan yang adil dan berpihak kepada kebenaran. Keterbukaan terhadap kritik dan nasihat merupakan kunci penting dalam mencegah pemimpin dari melakukan kesalahan dan memastikan kepemimpinan yang bertanggung jawab.
3. Larangan Perlawanan Bersenjata: Menjaga Stabilitas dan Keselamatan Umat
Meskipun Islam mendorong kritik dan koreksi terhadap pemimpin yang melakukan kesalahan, perlawanan bersenjata secara tegas dilarang, bahkan jika pemimpin tersebut melakukan kemungkaran. Al-Khithabi menjelaskan, “Di antara bentuk nasihat buat para pemimpin kaum muslimin adalah salat di belakang mereka, berjihad bersama dengan mereka, menyerahkan zakat kepada mereka, tidak melakukan perlawanan bersenjata terhadap mereka jika mereka melakukan suatu ketidakadilan atau perlakuan yang buruk, tidak menjilat kepada mereka dengan pujian palsu, dan mendoakan kebaikan buat mereka. Semua itu jika yang dimaksudkan dengan para imam kaum muslimin di sini adalah para khalifah, pemimpin dan pejabat yang memegang wewenang mengelola urusan kaum muslimin.”
Hadits riwayat Muslim dari Ummu Salamah juga menguatkan hal ini: “Akan ada para amir, lalu kalian mendapati perkara yang makruf dan perkara yang munkar dari mereka. Maka barang siapa yang mengetahui kemungkaran mereka dan membencinya, maka dia bebas, dan barang siapa yang mengingkari kemungkaran mereka, maka dia selamat, akan tetapi yang tidak selamat adalah orang yang menyetujuinya dan mengikutinya.” Ketika para sahabat bertanya apakah mereka boleh memerangi pemimpin yang zalim, Rasulullah SAW menjawab, “Tidak, selama mereka masih salat.”
Larangan perlawanan bersenjata ini didasarkan pada pertimbangan untuk menjaga stabilitas dan keselamatan umat. Perlawanan bersenjata dapat menimbulkan kekacauan, pertumpahan darah, dan kerusakan yang lebih besar. Islam mengajarkan cara-cara yang lebih bijak dan damai untuk mengoreksi kesalahan pemimpin, seperti kritik konstruktif, nasihat yang lemah lembut, dan doa.
4. Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Mengajak kepada Kebaikan dan Menjauhi Kemungkaran
Prinsip amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) juga berlaku dalam konteks hubungan dengan pemimpin. Islam memperbolehkan kaum Muslim untuk mengkritik pemimpin, tetapi dengan cara yang santun, berdasarkan ilmu dan bukti yang cukup. Kritik yang disampaikan harus bersifat konstruktif, bertujuan untuk memperbaiki kesalahan dan bukan untuk menjatuhkan atau menghina.
Herry Muhammad dalam buku “44 Teladan Kepemimpinan Muhammad” mengutip hadits riwayat Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah: “Sesungguhnya jihad yang paling utama adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” Hadits ini menunjukkan pentingnya keberanian untuk menyampaikan kebenaran kepada pemimpin, meskipun mereka berada di posisi yang berkuasa.
Namun, penting untuk diingat bahwa kritik harus disertai dengan hikmah dan kebijaksanaan. Menyebarkan fitnah, menghasut, atau melakukan penghinaan terhadap pemimpin merupakan tindakan yang dilarang dalam Islam.
Imam Tirmidzi meriwayatkan hadits yang menekankan pentingnya tidak membenarkan kebohongan dan kezaliman pemimpin: “Saya meminta perlindungan pada Allah untukmu, wahai Ka’ab bin Ujrah, dari para pemimpin yang datang setelahku. Barangsiapa yang mendekati pintu-pintu mereka, lalu membenarkan mereka dalam kebohongan mereka, dan membantu mereka pada kezaliman, maka ia bukanlah termasuk ke dalam golonganku, dan aku bukan dari golongannya, dan ia tidak akan mendatangiku di telaga. Barangsiapa yang mendekati pintu-pintunya, atau tidak mendekati, kemudian tidak membenarkan dalam kebohongan mereka dan tidak menolong mereka pada kezaliman, maka ia adalah dari golonganku, dan aku adalah golongannya, dan ia akan mendatangiku di telaga (di hari Kiamat).”
Hadits ini menegaskan bahwa mendukung kezaliman pemimpin merupakan tindakan yang berbahaya dan akan mendapatkan akibat yang buruk di akhirat.
5. Kesabaran: Sikap Terpuji dalam Menghadapi Kelemahan Pemimpin
Selain ketaatan dan kritik konstruktif, kesabaran juga merupakan sikap yang penting dalam menghadapi pemimpin, terutama ketika kita tidak setuju dengan kebijakan atau tindakan mereka. Kesabaran ini bukan berarti pasif atau menerima kezaliman tanpa berbuat apapun, melainkan menjaga kestabilan dan mencari jalan yang lebih bijak untuk menyampaikan kritik dan koreksi.
Hadits riwayat Al-Bukhari dari Jarir RA menunjukkan pentingnya mendengarkan dan mematuhi pemimpin: “Suruh orang-orang untuk diam dan mendengarkan dengan seksama.” Rasulullah SAW juga memperingatkan bahaya perpecahan dan perang saudara setelah beliau wafat.
Hadits riwayat Al-Bukhari dari Abdullah bin Abbas juga menekankan pentingnya kesabaran dalam menghadapi pemimpin yang tidak disukai: “Barang siapa membenci sesuatu dari pemimpinnya, maka hendaklah dia bersabar, karena barang siapa pergi meninggalkan sultan sejengkal, maka dia mati dengan kematian jahiliyah.” Meninggalkan kewajiban sebagai rakyat dan menghindari kewajiban kepada pemimpin dapat mengakibatkan kematian dalam keadaan jahiliyah, yaitu keadaan tanpa petunjuk dan hukum yang benar.
Kesimpulannya, Islam mengajarkan keseimbangan antara ketaatan, kritik konstruktif, dan penolakan terhadap kezaliman. Ketaatan hanya berlaku sejauh pemimpin berpegang teguh pada prinsip keadilan dan kebaikan. Kritik dan nasihat harus dilakukan dengan cara yang bijak dan konstruktif, sedangkan perlawanan bersenjata tegas dilarang. Kesabaran dan doa merupakan sikap yang penting dalam menghadapi kelemahan pemimpin. Dengan memahami dan mengamalkan prinsip-prinsip ini, kaum Muslim dapat berperan aktif dalam membangun masyarakat yang adil dan sejahtera.