Ayat Al-Baqarah 2:30, yang seringkali dikutip dalam konteks penciptaan manusia sebagai khalifah di bumi, menyimpan makna mendalam tentang rezeki, tanggung jawab, dan hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Ayat ini menjadi landasan refleksi bagi kita untuk memahami bagaimana Nabi Isa AS, sebagai salah satu utusan Allah, mungkin memanjatkan doa memohon rezeki, sekaligus menjalankan perannya sebagai khalifah yang bertanggung jawab. Meskipun Al-Quran tidak secara eksplisit mencantumkan doa Nabi Isa AS untuk rezeki, ayat ini, beserta konteks historis dan teologisnya, memungkinkan kita untuk merekonstruksi kemungkinan doa tersebut dan mengkaji hikmah yang terkandung di dalamnya.
Ayat tersebut berbunyi: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”” (QS Al-Baqarah: 30)
Ayat ini menggambarkan dialog ilahi antara Allah SWT dan para malaikat. Allah SWT menyatakan niat-Nya untuk menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi, sebuah peran yang sarat tanggung jawab dan amanah. Para malaikat, dengan pemahaman terbatas mereka, mempertanyakan keputusan Allah SWT, mengingat potensi kerusakan dan penumpahan darah yang mungkin dilakukan oleh manusia. Namun, Allah SWT menegaskan pengetahuan-Nya yang lebih luas, menunjukkan bahwa rencana-Nya jauh melampaui pemahaman terbatas makhluk-Nya.
Perlu dipahami bahwa "khalifah" dalam ayat ini bukan sekadar penguasa atau pemimpin. Khalifah merujuk pada peran manusia sebagai pengelola dan penjaga bumi, bertanggung jawab atas keseimbangan ekosistem dan keadilan sosial. Manusia diberi otoritas untuk mengelola sumber daya alam, namun dengan kewajiban untuk melakukannya dengan bijak dan bertanggung jawab. Konsep ini erat kaitannya dengan rezeki, karena rezeki itu sendiri merupakan amanah dari Allah SWT yang harus dikelola dengan sebaik-baiknya.
Dalam konteks ini, kita dapat membayangkan bagaimana Nabi Isa AS, sebagai seorang yang memahami makna khalifah dan amanah, mungkin memanjatkan doa untuk rezeki. Doanya bukanlah sekadar permohonan untuk pemenuhan kebutuhan materi semata, melainkan lebih dari itu. Doa Nabi Isa AS kemungkinan besar berfokus pada:
1. Rezeki yang Halal dan Berkah: Nabi Isa AS, sebagaimana para nabi lainnya, senantiasa menekankan pentingnya rezeki yang halal. Doanya mungkin berbunyi, "Ya Allah, limpahkanlah kepadaku rezeki yang halal dan berkah, yang dapat kupergunakan untuk kebaikan diriku, keluargaku, dan umat manusia." Rezeki yang halal tidak hanya menjamin keberkahan materi, tetapi juga keberkahan spiritual dan ketenangan hati. Ia menyadari bahwa rezeki yang diperoleh melalui jalan yang tidak halal akan membawa dampak negatif, baik bagi dirinya maupun lingkungan sekitarnya.
2. Rezeki yang Cukup dan Bermanfaat: Doa Nabi Isa AS mungkin juga mencakup permohonan rezeki yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan orang-orang di sekitarnya. Ia tidak memohon kekayaan melimpah, tetapi cukup untuk menjalankan tugas kenabiannya dan membantu orang-orang yang membutuhkan. Kata "cukup" di sini bukan berarti minim, tetapi seimbang dan proporsional, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya dalam menjalankan amanah sebagai khalifah. Rezeki yang bermanfaat dimaksudkan agar rezeki tersebut dapat digunakan untuk tujuan yang konstruktif, seperti membantu orang miskin, membangun masyarakat, dan menyebarkan kebaikan.
3. Rezeki yang Menjadi Sarana Dakwah: Sebagai seorang nabi, Nabi Isa AS tentu menyadari bahwa rezeki dapat menjadi sarana untuk berdakwah dan menyebarkan ajaran Allah SWT. Doanya mungkin berbunyi, "Ya Allah, jadikanlah rezekiku sebagai sarana untuk menyebarkan agama-Mu, membantu orang-orang yang tertindas, dan menegakkan keadilan di muka bumi." Ia memahami bahwa kekayaan materi dapat menjadi alat untuk kebaikan, asalkan dikelola dengan bijak dan didedikasikan untuk tujuan yang mulia. Ini menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang tanggung jawab sosial dan spiritual seorang khalifah.
4. Rezeki yang Menjauhkan dari Kesombongan dan Keserakahan: Nabi Isa AS, sebagai manusia pilihan Allah SWT, tentu menyadari potensi bahaya kesombongan dan keserakahan yang dapat muncul akibat kekayaan materi. Doanya mungkin juga mencakup permohonan perlindungan dari sifat-sifat buruk tersebut. Ia memohon agar rezeki yang diterimanya tidak membuatnya sombong dan lupa diri, tetapi justru membuatnya semakin rendah hati dan bersyukur kepada Allah SWT. Ini menunjukkan kesadaran spiritual yang tinggi dan pemahaman yang mendalam tentang fitrah manusia.
5. Rezeki yang Diberkahi dengan Kesehatan dan Kekuatan: Doa Nabi Isa AS mungkin juga mencakup permohonan kesehatan dan kekuatan fisik untuk menjalankan tugas kenabiannya. Kesehatan dan kekuatan fisik merupakan anugerah Allah SWT yang sangat berharga, yang memungkinkan seseorang untuk beribadah, berdakwah, dan berbuat kebaikan. Dengan kesehatan yang prima, ia dapat lebih efektif menjalankan perannya sebagai khalifah dan menyebarkan kebaikan di muka bumi.
Dengan demikian, doa Nabi Isa AS untuk rezeki bukanlah sekadar permohonan materi belaka, tetapi juga permohonan untuk mendapatkan rezeki yang halal, berkah, cukup, bermanfaat, dan diiringi dengan perlindungan dari sifat-sifat tercela. Doa tersebut mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang tanggung jawab sebagai khalifah di bumi, yaitu mengelola rezeki dengan bijak dan bertanggung jawab untuk kemaslahatan umat manusia.
Ayat Al-Baqarah 2:30 menjadi landasan penting dalam memahami konteks doa tersebut. Ayat ini mengingatkan kita bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah, dengan tanggung jawab yang besar untuk mengelola bumi dan segala isinya. Rezeki yang kita terima bukanlah hak mutlak kita, tetapi amanah dari Allah SWT yang harus kita kelola dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, kita perlu merenungkan kembali bagaimana kita memanfaatkan rezeki yang telah Allah SWT berikan, apakah sesuai dengan amanah sebagai khalifah yang bertanggung jawab atau justru sebaliknya.
Lebih jauh lagi, refleksi atas ayat ini mengajak kita untuk meneladani Nabi Isa AS dalam memanjatkan doa. Doa yang tulus dan ikhlas, yang dilandasi oleh kesadaran akan tanggung jawab sebagai khalifah, akan lebih mudah dikabulkan oleh Allah SWT. Kita perlu memohon rezeki yang tidak hanya memenuhi kebutuhan materi, tetapi juga memberikan keberkahan spiritual dan mendorong kita untuk berbuat kebaikan bagi sesama. Semoga kita semua dapat menjadi khalifah yang bertanggung jawab, yang senantiasa bersyukur atas rezeki yang telah Allah SWT berikan dan memanfaatkannya untuk kemaslahatan umat manusia. Amin.