Jakarta – Surah Al-Baqarah, surah kedua dalam Al-Qur’an yang terdiri dari 286 ayat dan diturunkan di Mekkah (Makkiyyah), menyimpan sebuah tantangan monumental bagi siapapun yang meragukan keagungan dan keotentikan wahyu ilahi yang terkandung di dalamnya. Ayat ke-23, khususnya, menjadi inti dari tantangan tersebut, sebuah pernyataan tegas yang hingga kini terus relevan dan menggema di sepanjang sejarah peradaban manusia. Ayat ini bukan sekadar pernyataan, melainkan sebuah undangan – sekaligus peringatan – bagi mereka yang terbelenggu keraguan untuk menguji kebenaran Al-Qur’an dengan cara yang unik dan menantang.
Berikut teks Arab, transliterasi Latin, dan terjemahannya:
Arab: وَإِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِن مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُم مِن دُونِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
Latin: wa in kuntum fi raybin mimma nazzalnaa ‘alaa ‘abdinā fa’tu bi sūratin min miṣlihī wa’du syuhadā’akum min dūnillāhi in kuntum ṣādiqīn
Terjemahan (Indonesia): "Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang apa (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Nabi Muhammad), maka buatlah satu surat yang semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar."
Ayat ini, dalam kesederhanaan bahasanya, menyimpan kedalaman makna yang luar biasa. Tantangan yang diajukan Allah SWT bukanlah tantangan sembarangan. Ini bukan sekadar ajakan untuk berdebat atau beradu argumen, melainkan sebuah uji coba yang menuntut kemampuan untuk menyamai, bahkan menandingi, keajaiban bahasa dan isi kandungan Al-Qur’an. Allah SWT menantang manusia – dengan segala kemampuan intelektual, linguistik, dan spiritualnya – untuk menciptakan satu surat saja yang setara dengan kualitas dan dampak Al-Qur’an.
Para pakar tafsir, seperti Ibnu Katsir dan Buya Hamka, telah memberikan penafsiran yang mendalam terhadap ayat ini. Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, menekankan konteks penurunanan ayat ini setelah Allah SWT menetapkan kenabian Nabi Muhammad SAW dan menurunkan Al-Qur’an. Tantangan ini muncul sebagai respons atas keraguan yang mungkin muncul di kalangan masyarakat Arab saat itu, yang terbiasa dengan syair dan retorika puitis. Ayat ini menegaskan bahwa Al-Qur’an bukanlah hasil karya manusia biasa, melainkan wahyu langsung dari Allah SWT yang tidak mungkin disamai oleh siapapun.
Buya Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, memberikan perspektif yang lebih luas. Beliau menjelaskan bahwa ayat ini tidak hanya ditujukan kepada mereka yang secara terang-terangan meragukan Al-Qur’an, tetapi juga kepada mereka yang mengaku beriman namun hatinya masih diliputi keraguan – kelompok munafik yang menyembunyikan ketidakpercayaannya. Tantangan ini, menurut Buya Hamka, merupakan bukti nyata atas kebenaran Al-Qur’an dan sekaligus sebagai pengungkap kemunafikan.
Lebih jauh, Buya Hamka menggarisbawahi ketidakmampuan manusia, bahkan para penyair dan ahli retorika terkemuka di zaman Nabi Muhammad SAW, untuk menyamai keindahan dan kedalaman pesan Al-Qur’an. Beliau menegaskan bahwa meskipun bangsa Arab memiliki tradisi sastra yang kaya, tidak ada satupun karya sastra yang mampu menandingi Al-Qur’an, baik dari segi bahasa, gaya, maupun isi kandungannya. Keunikan Al-Qur’an, menurut Buya Hamka, terletak pada kualitasnya yang melampaui batas-batas genre sastra manapun, baik prosa maupun puisi. Al-Qur’an adalah Al-Qur’an, sebuah kitab suci yang unik dan tak tertandingi.
Pendapat Buya Hamka ini diperkuat oleh pandangan Dr. Thaha Husain, seorang sastrawan Arab ternama. Dr. Husain, dalam analisisnya, membedakan dua jenis sastra Arab: prosa (manzhum) dan puisi (mantsur). Beliau menegaskan bahwa Al-Qur’an melampaui kedua kategori tersebut. Al-Qur’an, menurut Dr. Husain, memiliki gaya bahasa dan struktur yang unik, yang tidak dapat dikategorikan sebagai prosa maupun puisi. Ini semakin mengukuhkan keunikan dan keagungan Al-Qur’an sebagai wahyu ilahi.
Tantangan dalam Surah Al-Baqarah ayat 23 ini bukan hanya relevan di masa lalu, tetapi juga tetap aktual hingga saat ini. Di era informasi yang serba cepat dan mudah diakses seperti sekarang, keraguan terhadap kebenaran agama, termasuk Al-Qur’an, masih sering muncul. Berbagai argumen dan interpretasi yang berbeda-beda bermunculan, membuat kebenaran Al-Qur’an seringkali dipertanyakan.
Namun, tantangan dalam ayat ini tetap menjadi jawaban atas segala keraguan. Ayat ini mengajak kita untuk merenungkan keajaiban Al-Qur’an, baik dari segi bahasa maupun isinya. Keindahan bahasa Arab yang digunakan dalam Al-Qur’an, keharmonisan susunan ayat-ayatnya, kedalaman makna yang terkandung di dalamnya, dan dampaknya terhadap kehidupan manusia selama berabad-abad, merupakan bukti nyata atas keotentikan dan keagungannya sebagai wahyu ilahi.
Lebih dari itu, ayat ini juga mengajak kita untuk memahami konteks sejarah dan budaya saat Al-Qur’an diturunkan. Memahami konteks ini akan membantu kita untuk lebih menghargai dan memahami pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Al-Qur’an bukanlah sekadar kitab suci, tetapi juga merupakan sumber inspirasi dan panduan hidup bagi umat manusia sepanjang zaman.
Tantangan dalam Surah Al-Baqarah ayat 23 bukanlah tantangan yang mudah. Ini adalah tantangan yang menuntut kejernihan pikiran, kedalaman pemahaman, dan ketulusan hati. Ini adalah tantangan yang mengajak kita untuk merenungkan keajaiban Al-Qur’an dan membuktikan kebenarannya melalui pemahaman yang mendalam dan penghayatan yang tulus. Bagi mereka yang masih ragu, ayat ini menjadi sebuah ajakan untuk membuka hati dan pikiran, untuk meneliti dan memahami Al-Qur’an dengan lebih seksama, dan untuk menemukan sendiri keajaiban dan kebenaran yang terkandung di dalamnya. Dan bagi mereka yang telah yakin, ayat ini menjadi penguat iman dan penegasan atas kebenaran yang telah mereka yakini. Surah Al-Baqarah ayat 23, dengan demikian, tetap menjadi tantangan abadi yang relevan sepanjang masa, sebuah bukti nyata atas keagungan dan keotentikan Al-Qur’an sebagai kalamullah.