Jakarta, 1 November 2024 – Serangan teror yang terjadi di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru pada tahun 2019, meninggalkan bekas luka mendalam bagi komunitas Muslim setempat. Lebih dari sekadar duka dan kehilangan, serangan tersebut telah menimbulkan trauma mendalam yang berdampak signifikan pada kesehatan mental para korban. Sebuah studi terbaru mengungkap fakta mengejutkan: lebih dari 60% korban Muslim mengalami gangguan kesehatan mental seperti Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan depresi.
Tragedi yang terjadi di Masjid Al Noor dan Masjid Linwood pada 15 Maret 2019, menjadi momen kelam dalam sejarah Selandia Baru. Brenton Tarrant, seorang pria yang terpapar ideologi ekstremis, melancarkan serangan brutal dengan senjata api semi-otomatis, menebar teror di tengah-tengah jemaah yang sedang melaksanakan ibadah sholat Jumat. Tarrant, yang menyiarkan aksi kejinya secara langsung melalui Facebook, menewaskan 51 orang dan melukai 40 lainnya.
Dampak Psikologis yang Mengerikan
Tim peneliti dari University of Otago, Selandia Baru, melakukan studi mendalam untuk mengungkap dampak kesehatan mental dari serangan teror tersebut. Penelitian yang didanai oleh Health Research Council of New Zealand dan Canterbury Medical Research Foundation ini melibatkan 189 responden, termasuk korban serangan, keluarga yang berduka, dan komunitas Muslim yang lebih luas.
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi gangguan kesehatan mental yang tinggi di antara para korban. Sebanyak 61% responden mengalami gangguan kecemasan, gangguan depresi mayor (MDD), atau PTSD pada suatu waktu setelah serangan. Lebih rincinya, 31% didiagnosis dengan gangguan kecemasan, 43% dengan MDD, dan 32% dengan PTSD. Bahkan, banyak yang mengalami kombinasi dari beberapa gangguan tersebut.
"Skala dan kekerasan aksi terorisme ini belum pernah terjadi sebelumnya di Selandia Baru modern," ujar Dr. Ruqayya Sulaiman-Hill, peneliti utama dari Departemen Kedokteran Psikologi University of Otago. "Serangan ini tidak hanya menyebabkan kerusakan kesehatan mental langsung, tetapi juga kerusakan jangka panjang yang signifikan."
Trauma Mendalam bagi Korban Langsung dan Keluarga
Studi ini juga mengungkap korelasi yang kuat antara jenis trauma dan gangguan kesehatan mental yang dialami. Mereka yang kehilangan anggota keluarga atau mengalami luka fisik akibat serangan memiliki risiko lebih tinggi untuk didiagnosis dengan MDD. Sementara itu, mereka yang kehilangan anggota keluarga atau menjadi saksi langsung serangan, baik terluka maupun tidak, cenderung mengalami PTSD.
Profesor Caroline Bell, salah satu penulis penelitian, menjelaskan bahwa paparan langsung terhadap serangan, bahkan tanpa mengalami luka fisik, atau kehilangan anggota keluarga, dapat memicu PTSD. "Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh ancaman yang dirasakan terhadap kehidupan oleh para peserta ini, selain menjadi saksi langsung atas pengalaman yang mengerikan," ujar Profesor Bell.
"Penting untuk ditekankan bahwa kebutuhan kesehatan mental kelompok ini mungkin tidak diprioritaskan dibandingkan dengan mereka yang berduka atau terluka," tambah Profesor Bell. "Hal ini dapat menyebabkan kesulitan bagi mereka dalam mengakses dukungan yang mereka butuhkan."
Studi Penting untuk Memahami Dampak Terorisme
Studi ini memiliki makna penting karena menjadi studi internasional pertama yang meneliti dampak kesehatan mental setelah serangan teroris yang menargetkan populasi Muslim dalam konteks non-Muslim. Penelitian ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang dampak psikologis dari terorisme dan pentingnya dukungan kesehatan mental bagi korban.
Hasil penelitian ini juga menyoroti perlunya perhatian khusus bagi komunitas Muslim yang menjadi korban serangan teror. Mereka membutuhkan dukungan yang komprehensif, baik dari segi kesehatan mental maupun sosial, untuk membantu mereka mengatasi trauma dan membangun kembali kehidupan mereka.
Langkah-langkah Penting untuk Mendukung Korban
Pemerintah Selandia Baru telah mengambil langkah-langkah penting untuk mendukung korban serangan, termasuk menyediakan layanan kesehatan mental dan dukungan finansial. Namun, masih banyak yang perlu dilakukan untuk memastikan bahwa semua korban mendapatkan akses ke layanan yang mereka butuhkan.
Berikut beberapa langkah penting yang dapat diambil untuk mendukung korban serangan teror:
- Meningkatkan akses ke layanan kesehatan mental: Peningkatan akses ke layanan kesehatan mental yang komprehensif dan terfokus pada trauma sangat penting untuk membantu korban mengatasi gangguan kesehatan mental mereka.
- Membangun sistem dukungan sosial: Dukungan sosial dari keluarga, teman, dan komunitas sangat penting untuk membantu korban mengatasi trauma dan membangun kembali kehidupan mereka.
- Meningkatkan kesadaran tentang dampak terorisme: Peningkatan kesadaran tentang dampak psikologis dari terorisme di masyarakat dapat membantu mengurangi stigma dan mendorong empati terhadap korban.
- Mendorong pencegahan terorisme: Upaya pencegahan terorisme, seperti melawan ideologi ekstremis dan mempromosikan toleransi dan kerukunan antaragama, sangat penting untuk mencegah tragedi seperti ini terjadi di masa depan.
Serangan teror di Christchurch adalah pengingat akan pentingnya solidaritas dan empati dalam menghadapi kekerasan. Studi ini memberikan bukti nyata tentang dampak jangka panjang dari terorisme terhadap kesehatan mental korban. Dengan memahami dampak ini, kita dapat mengambil langkah-langkah yang lebih efektif untuk mendukung korban dan mencegah tragedi serupa terjadi di masa depan.