Jabir bin Abdullah, salah satu sahabat setia Rasulullah SAW, dikenal sebagai sosok yang penuh dedikasi dan rendah hati. Kisahnya yang mengharukan bersama untanya yang lemah menjadi bukti nyata kedermawanan dan kasih sayang Rasulullah SAW terhadap para sahabatnya.
Jabir, yang lahir 16 tahun sebelum peristiwa hijrah, merupakan anak sulung dari Abdullah bin Haram, seorang pejuang Islam yang gugur syahid di medan Perang Uhud. Kehilangan sang ayah di usia muda memaksa Jabir untuk memikul tanggung jawab merawat dan menafkahi saudara-saudaranya. Kehidupannya pun menjadi berat, dengan harta yang sangat terbatas.
Kisah Jabir dan untanya bermula saat mereka berdua mengikuti Rasulullah SAW dalam Perang Dzat Ar-Riqa’. Perjalanan pulang dari medan perang menjadi ujian bagi Jabir, karena untanya yang kurus dan lemah berjalan sangat lambat. Hal ini membuat Jabir tertinggal jauh di belakang rombongan sahabat.
Rasulullah SAW, yang selalu memperhatikan kesejahteraan para sahabatnya, menyadari kesulitan yang dihadapi Jabir. Beliau menyusul Jabir dan bertanya dengan penuh perhatian, "Apa yang terjadi denganmu, wahai Jabir?"
Jabir menjawab dengan jujur, "Wahai Rasulullah, untaku berjalan sangat pelan."
Rasulullah SAW pun memberikan solusi bijak, "Suruh ia duduk."
Jabir segera mendudukkan untanya, dan Rasulullah SAW pun mendudukkan untanya sendiri. Kemudian, dengan penuh kasih sayang, Rasulullah SAW meminta tongkat Jabir dan menusuk lambung unta Jabir beberapa kali. Setelah itu, beliau memerintahkan Jabir, "Naikilah untamu!"
Seolah-olah mendapat kekuatan baru, unta Jabir yang tadinya lemah kini berlari kencang dan bahkan mampu menyalip unta Rasulullah SAW. Jabir pun takjub dan berkata, "Demi Allah, yang mengutus beliau dengan membawa kebenaran, untaku mampu menyalip unta beliau."
Peristiwa ini menorehkan kesan mendalam bagi Jabir. Ia menyadari bahwa Rasulullah SAW memiliki kekuatan luar biasa yang mampu mengalahkan kelemahan fisik.
Setelah percakapan singkat, Rasulullah SAW menawari Jabir untuk membeli untanya. Namun, Jabir menolak dengan sopan, "Tidak wahai Rasulullah, tetapi aku menghibahkannya kepadamu."
Rasulullah SAW, yang selalu adil dan menghargai jasa para sahabatnya, bersikeras untuk membeli unta tersebut dengan harga yang pantas. Beliau menawarkan satu dirham, kemudian dua dirham, dan terus menaikkan penawaran hingga mencapai satu uqiyah (setara dengan 40 dirham).
Jabir, yang merasa terharu dengan kebaikan Rasulullah SAW, akhirnya menerima tawaran tersebut.
"Ya, aku telah terima," jawab Rasulullah SAW.
Setelah itu, Rasulullah SAW menanyakan kehidupan pribadi Jabir, "Wahai Jabir, apakah engkau sudah menikah?"
Jabir menjawab, "Sudah, wahai Rasulullah."
"Dengan gadis ataukah janda?" tanya Rasulullah SAW.
"Dengan janda," jawab Jabir.
Rasulullah SAW pun memberikan nasihat bijak, "Kenapa engkau tidak menikahi gadis hingga engkau bisa bercanda dengannya dan ia bisa bercanda denganmu?"
Jabir menjelaskan alasannya, "Ayahku gugur di Perang Uhud dan menginggalkan tujuh orang anak perempuan. Aku menikahi seorang wanita yang dewasa sehingga bisa mengurus dan mengasuh mereka."
Rasulullah SAW memahami alasan Jabir dan memberikan solusi yang penuh makna, "Setibanya di Shirar (sebuah tempat kira-kira 5 km dari kota Madinah) nanti, aku perintahkan penyiapan unta untuk disembelih, kemudian kita adakan jamuan daging unta pada hari tersebut, hingga istrimu mendengar kabar tentang kita dan ia melepaskan bantalnya."
"Aku tidak memiliki bantal wahai Rasulullah," jawab Jabir.
Rasulullah SAW berkata dengan penuh kasih sayang, "Engkau akan memilikinya, insya Allah. Karena itu, jika engkau telah tiba di rumahmu, maka lakukanlah perbuatan orang cerdik."
Sesampainya di Shirar, Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat untuk menyiapkan unta yang akan disembelih. Jabir dan para sahabat pun menikmati jamuan makan bersama.
Sore harinya, Rasulullah SAW masuk ke dalam rumahnya, dan para sahabat pun kembali ke rumah masing-masing. Jabir menceritakan sabda Rasulullah SAW kepada istrinya.
Istri Jabir, yang bijaksana dan memahami makna sabda Rasulullah SAW, menyuruh Jabir untuk menuruti perintah tersebut.
Esok paginya, Jabir membawa untanya dan mendudukkannya di depan pintu masjid Rasulullah SAW. Ia pun duduk di dekat masjid.
Ketika Rasulullah SAW keluar dan melihat unta tersebut, beliau bertanya, "Apa ini?"
Para sahabat menjawab, "Ini unta yang dibawa Jabir."
Rasulullah SAW pun memanggil Jabir dan berkata, "Wahai anak saudaraku, ambillah untamu, karena ia menjadi milikmu!"
Kemudian, beliau memanggil Bilal dan berkata, "Pergilah bersama Jabir, dan berikan kepadanya uang satu uqiyah!"
Jabir pun pergi bersama Bilal, dan Bilal memberikan uang satu uqiyah kepadanya, bahkan menambahkan sedikit lagi.
Jabir sangat terharu dengan kebaikan Rasulullah SAW. Ia menuturkan, "Demi Allah, pemberian beliau tersebut terus berkembang dan bisa dilihat tempatnya di rumahku, hingga aku mendapat musibah di Perang Al-Harrah belum lama ini."
Kisah Jabir bin Abdullah dan untanya merupakan bukti nyata kedermawanan Rasulullah SAW. Beliau tidak hanya memperhatikan kebutuhan fisik para sahabatnya, tetapi juga memperhatikan aspek spiritual dan emosional mereka.
Melalui kisah ini, kita dapat belajar tentang pentingnya:
- Kedermawanan: Rasulullah SAW selalu bersedia membantu orang lain, bahkan dengan harta yang sedikit.
- Kasih sayang: Beliau selalu memperhatikan kesejahteraan para sahabatnya, bahkan dalam hal-hal yang terkesan sepele.
- Kejujuran: Jabir selalu jujur dalam menceritakan kesulitannya kepada Rasulullah SAW.
- Ketaatan: Jabir selalu menuruti perintah Rasulullah SAW dengan penuh ketaatan.
- Kesabaran: Jabir bersabar menghadapi ujian hidup dan selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT.
Kisah ini juga mengingatkan kita bahwa setiap orang memiliki potensi untuk menjadi pribadi yang penuh kasih sayang dan dermawan. Dengan meneladani sikap Rasulullah SAW, kita dapat membangun hubungan yang harmonis dan penuh makna dengan sesama.