ERAMADANI.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak gugatan yang bertujuan untuk melarang pelanggar HAM maju sebagai calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres).
Keputusan ini diambil oleh majelis hakim dalam sidang pembacaan putusan nomor 102/PUU-XXI/2023, pada Senin (23/10/2023). “Menyatakan permohonan pemohon ditolak seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman sebelum mengetuk palu dalam sidang.
Hakim-hakim MK memutuskan bahwa gugatan tersebut tidak beralasan menurut hukum. Pasalnya, mahkamah merasa bahwa tidak ada penjelasan yang rinci terkait kasus pelanggaran HAM berat yang diajukan oleh pemohon. Ini menambahkan kerumitan tersendiri, kata Hakim Daniel.
MK juga menegaskan bahwa perlu ada kepastian hukum terkait kasus pelanggaran HAM yang diajukan oleh pemohon agar tidak melanggar asas praduga tak bersalah. Majelis hakim memutuskan bahwa gugatan ini tidak beralasan karena telah kehilangan objeknya.
Melansir dari nasional.kompas.com, Gugatan ini diajukan oleh Wiwit Ariyanto, Rahayu Fatika Sari, dan Rio Saputro, dengan melibatkan 98 advokat. Mereka berupaya agar MK mengubah Pasal 169 huruf d dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) untuk melarang pelanggar HAM maju sebagai capres.
Dalam petitum gugatan mereka, mereka meminta agar larangan tersebut mencakup syarat bahwa seorang calon presiden “tidak pernah mengkhianati negara, tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi, tidak memiliki rekam jejak melakukan pelanggaran HAM berat, bukan orang yang terlibat dan/atau menjadi bagian peristiwa penculikan aktivis pada tahun 1998, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku penghilangan orang secara paksa, tidak pernah melakukan tindak pidana genosida, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan yang anti demokrasi, serta tindak pidana berat lainnya.”
Mereka juga mengacu pada Pasal 7A UUD 1945 yang mengatur pemberhentian presiden dan wakil presiden apabila “terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.”
Selain itu, mereka juga meminta agar MK membatasi syarat usia calon presiden dan wakil presiden antara 40-70 tahun.
Mereka berpendapat bahwa untuk mengelola Indonesia menuju negara maju, diperlukan mobilitas yang tinggi karena wilayah Indonesia yang sangat luas.
Selain itu, mereka berpendapat bahwa pasal yang ada saat ini memberikan ketidakpastian hukum karena hanya mengatur batas usia minimum calon presiden tanpa mengatur batas usia maksimum.
Mereka menggunakan usia maksimum 70 tahun hakim konstitusi dan hakim agung sebagai pembanding.