DENPASAR, ERA MADANI – Penerimaan Bilal bin Rabah terhadap Islam adalah kisah yang sangat kuat, yang melibatkan perbudakan, pertobatan, penyiksaan, dan penyelamatan. Kisah Bilal yang menyentuh aspek rasisme, adalah pelajaran dalam pluralisme, dan mengajarkan kita bahwa kesalehan adalah satu-satunya cara untuk mengukur nilai seseorang. Kisah Bilal juga merupakan cerita tentang adzan, sebab Bilal juga merupakan muadzin pertama Islam.
Di seluruh dunia, salah satu simbol Islam yang paling syahdu adalah adzan yang merdu. Suara agung lantunan adzan terdengar di kota-kota dan padang rumput, di pantai, di sawah dan lembah tandus. Sekali terdengar, suara adzan tidak akan pernah terlupakan dan banyak orang masuk agama Islam hanya dengan mendengar suara yang penuh perasaan ini.
Adzan, yang berarti panggilan ini hanya disebutkan sekali dalam Quran, memainkan bagian integral dalam kehidupan seorang Muslim. Bagi mereka yang terlahir dalam Islam, adzan adalah suara pertama yang mereka dengar. Segera setelah lahir, ayah atau Muslim penting lainnya dalam kehidupan sang anak memegang bayi yang baru lahir dan membisikkan kata-kata adzhan ke telinga kanannya.
Waktu sholat diumumkan lima kali per hari, mulai dari menara yang megah atau dari jam tangan dan komputer. Ketika seorang Muslim mendengar adzhan, persiapan untuk shalat dimulai. Bilal, karena suaranya yang indah, mendapat kehormatan menjadi orang pertama di dunia yang beradzhan dan memanggil jamaah untuk sholat.
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Quran 62: 9)
Suatu kali, ketika Nabi, Bilal dan sebagian besar komunitas Muslim yang masih muda hijrah ke Madinah, Bilal berada di sisi Nabi dan seperti yang dikatakan oleh seseorang, “Setiap peristiwa dalam kehidupan Muhammad adalah sebuah peristiwa dalam kehidupan Bilal”. Dikatakan bahwa Bilal begitu dekat dengan Nabi Muhammad, dia memiliki tugas untuk membangunkan Nabi di pagi hari.
Saat itu Nabi berpikir bagaimana menemukan cara memanggil umat Islam untuk sholat. Dia menginginkan sesuatu yang berbeda. Di sinilah Abdullah bin Zaid, salah seorang sahabat, memberi tahu Nabi tentang mimpinya.
“Muncul padaku dalam mimpi seorang pria yang mengenakan dua baju hijau, yang di dalamnya ada bel. Aku berkata, ‘Wahai hamba Allah, maukah kamu menjual bel itu?’ Dia berkata, ‘Apa yang akan kaulakukan dengan bel ini?” Aku berkata, ‘Kami akan memanggil orang-orang untuk shalat.’ Dia berkata, “Apa sebaiknya aku menunjukkan sesuatu yang lebih baik daripada cara tersebut?’ Aku bilang iya. Dia berkata, ‘Katakanlah, Allaahu akbar Allaahu akbar …'”
‘Nabi mendengarkan mimpi Abdullah bin Zaid dan berkata, “Ini adalah mimpi yang sebenarnya, (artinya mimpi yang diutus oleh Tuhan). Temui Bilal dan katakan padanya apa yang telah kaulihat, ajarkan dia kalimat-kalimatnya sehingga dia bisa menyerukan adzan, karena dia memiliki suara yang indah.” Jadi aku pergi menemui Bilal dan menceritakan mimpiku, sehingga dia beradzan untuk sholat. Umar ibn al-Khattab mendengar seruan itu saat masih berada di rumahnya; dia bergegas keluar, menyeret jubahnya ke belakangnya, berkata, “Demi Dia yang mengutusmu dengan kebenaran, wahai Rasulullah, aku melihat mimpi yang sama.” Nabi Muhammad SAW senang dan berkata “Segala puji bagi Tuhan”.
Beberapa waktu setelah hijrah, Bilal menemani Nabi pada semua ekspedisi militer, dan mendapat kehormatan membawa tombak Nabi. Dia bertempur dalam Pertempuran Badar, dan dia membunuh mantan tuannya, Umayyah ibn Khalaf. Bilal juga turut serta pada pertempuran Uhud dan pertempuran Khandaq.
Kehidupan Bilal setelah masuk Islam mengandung banyak momen kegembiraan namun waktu terbaiknya pastilah pada 630 SM, dalam sebuah kesempatan yang dianggap sebagai salah satu momen paling suci dalam sejarah Islam. Setelah pasukan Muslim menaklukkan Mekkah, Bilal naik ke puncak Kabah, rumah Allah, untuk memanggil orang-orang yang beriman untuk shalat. Ini adalah pertama kalinya seruan untuk sholat terdengar di kota tersuci Islam.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad, Bilal tidak pernah merasakan hal yang sama lagi. Sehari setelah kematian Nabi, Bilal menyerukan adzhan seperti biasanya di waktu sholat subuh. Namun, ia berhenti di tengah adzan dan aliran air mata mulai bergulir dengan deras di pipinya. Dia berhasil menyelesaikan sisa adzhan dengan suara pelan. Setelah itu, Bilal tak lagi menyerukan adzhan di Madinah.
Kenangan bersama Nabi di Madinah terlalu sulit baginya untuk dilupakan, dan dia pergi ke tempat lain. Kemudian, saat berkunjung ke Madinah atas perintah cucu Nabi Muhammad, dia setuju untuk beradzan lagi. Kenangan lama yang terbaring jauh di dalam hatinya dihidupkan kembali dan mereka yang telah mengalami hari-hari keemasan bersama Nabi Muhammad SAW tidak dapat menahan air mata mereka.
Bilal diyakini meninggal di Suriah antara tahun 638 dan 642 SM. Imam al-Suyuti dalam bukunya ‘Tarikh al-Khulafa” menulis, “Dia (Bilal) meninggal di Damaskus ketika usianya enam puluh tahun.” Yang lain berpendapat bahwa dia meninggal di Madinah. Kita yakin bahwa tempat tinggalnya yang kekal adalah surga, semoga rahmat dan rahmat Allah SWT besertanya.