ERAMADANI.COM – Pada awal Januari lalu, dua penelitian berbeda menunjukkan bahwa jam tangan pintar alias smartwatch dapat digunakan untuk mendeteksi virus Covid-19 secara dini. Hal tersebut dimungkinkan berkat adanya data dari fitur-fitur pendeteksi kegiatan, termasuk aktivitas olahraga, detak jantung, kadar oksigen dalam tubuh, pelacakan waktu tidur, hingga pendeteksi jatuh.
Studi terbaru menunjukkan, data dari smartwatch juga bisa dimanfaatkan untuk melacak pemulihan pasien pasca terinfeksi Covid-19. Khususnya, memantau durasi dan variasi efek jangka panjang yang dialami oleh penyintas Covid-19. Seperti diketahui, orang yang terkonfirmasi Covid-19 bisa mengalami fenomena yang dikenal dengan istilah long covid.
Para penyintas masih merasakan gejala seperti sesak napas, sakit kepala, depresi, jantung berdebar, dan nyeri dada, meski sudah dinyatakan negatif dari Covid-19. Riset dari kelompok ilmuwan di Scripps Research Translational Institute di La Jolla, California, ini mencoba melihat gejala apa saja yang masih dirasakan oleh penyintas Covid-19 menggunakan data dari smartwatch. Kemudian, dilihat seberapa lama kondisi para penyintas Covid-19 ini bisa kembali normal seperti sedia kala.
Menggunakan aplikasi dan data Dalam penelitian ini, para peneliti menggunakan metode Digital Engagement and Tracking for Early Control and Treatment (DETECT) alias penelitian jarak jauh berbasis aplikasi. Setiap partisipan wajib mengunduh aplikasi bernama MyDataHelps. Setiap partisipan juga diwajibkan membagikan data pelacakan aktivitas dari smartwach yang dikenakan seperti Fitbit dan Apple Watch.
Dalam penelitian ini, para ilmuwan fokus menganalisis data smartwatch milik 875 partisipan yang melaporkan mengalami gejala demam, batuk, nyeri tubuh, atau gejala penyakit pernapasan lainnya. Dari jumlah tersebut, 234 partisipan dinyatakan positif terinfeksi Covid-19. Sementara, sisanya, 641 partisipan dinyatakan negatif Covid-19.
Peningkatan detak jantung
Riset menunjukkan, para partisipan merasakan sejumlah perubahan kondisi tubuh. Misalnya seperti menjadi menjadi lebih banyak tidur, lebih sedikit berjalan, dan mengalami peningkatan detak jantung istirahat (resting heart rate/ RHR) setelah sakit. Untuk diketahui, resting heart rate adalah kondisi detak jantung seseorang dalam keadaan rileks alias tidak berolahraga. Partisipan yang sebelumnya dinyatakan positif, Covid-19 ternyata merasakan perubahan yang lebih besar dibandingkan partisipan yang tidak terinfeksi Covid-19. Misalnya, mengalami peningkatan detak jantung saat istirahat yang berkepanjangan.
“Ada perubahan yang jauh lebih besar dalam resting heart rate untuk individu yang terinfeksi Covid-19 dibandingkan dengan infeksi virus lainnya,” kata Jennifer Radin, seorang ahli epidemiologi di Scripps yang memimpin riset DETECT. Para ilmuwan menemukan bahwa sekitar sembilan hari setelah partisipan dengan Covid-19 pertama kali mulai melaporkan gejala, detak jantung mereka turun.
Setelah penurunan ini, detak jantung partisipan akan naik lagi dan tetap tinggi selama berbulan-bulan. Butuh rata-rata waktu 79 hari, agar detak jantung istirahat partisipan dengan Covid-19 kembali normal. Hal ini sangat berbeda dengan partisipan yang tidak terinfeksi Covid-19, di mana mereka hanya butuh waktu empat hari agar detak jantung kembali normal, setelah sakit.
Peningkatan detak jantung yang berkepanjangan ini menjadi salah satu tanda bahwa Covid-19 mengganggu sistem saraf otonom, yang mengatur proses fisiologis dasar. “Banyak orang yang terkena Covid akhirnya mengalami disfungsi otonom dan semacam peradangan berkelanjutan, dan ini dapat berdampak buruk pada kemampuan tubuh mereka untuk mengatur denyut nadi mereka,” kata Radin.
Hasil analisis juga menunjukkan, sebagian partisipan dengan Covid memiliki detak jantung di atas normal. Di mana rata-rata perubahan resting heart rate-nya lebih dari lima detak per menit, selama satu hingga dua bulan setelah terinfeksi Covid-19. Hampir 14 persen di antara mereka, baru kembali memiliki detak jantung yang normal setelah 133 hari atau lebih dari empat bulan setelah terinfeksi Covid-19.
Dilansir dari kompas.com, dapat menyebabkan stroke Kondisi detak jantung yang cepat ini disebut juga dengan istilah takikardia, sebagaimana dihimpun dari situs Mayoclinic. Dalam beberapa kasus, takikardia mungkin tidak menimbulkan gejala atau komplikasi. Namun takikardia juga dapat mengganggu fungsi jantung normal dan menyebabkan komplikasi serius, seperti gagal jantung, stroke, serangan jantung mendadak, bahkan kematian.
Mengomentari temuan dari penelitian ini, seorang ahli gastroenterologi di rumah sakit Mount Sinai, Robert Hirten mengatakan ini adalah penelitian yang menarik dan penting. “Ini adalah studi yang menarik, dan saya pikir ini penting bagaimana smartwatch dapat memantau orang dalam jangka waktu yang lama untuk melihat secara objektif, bagaimana sebenarnya virus itu memengaruhi mereka” kata Hirten, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari New York Times, Senin (12/7/2021). Temuan para ilmuwan asal Scripps Research Translational Institute telah dipublikasi di situs Jama Network Open, bisa dibaca selengkapnya di tautan berikut.