Yogyakarta, 18 November 2023 – Hari ini, tepat 112 tahun silam, sebuah tonggak sejarah pergerakan Islam di Indonesia terukir. Di Kampung Kauman, Yogyakarta, KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, sebuah organisasi dakwah yang hingga kini terus berkiprah luas dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, dan ekonomi. Namun, perjalanan panjang organisasi ini tak lepas dari rintangan besar, termasuk tuduhan serius yang dialamatkan kepada sang pendiri: mendirikan agama baru.
KH. Ahmad Dahlan, yang lahir dengan nama Muhammad Darwis di Kauman, Yogyakarta, bukanlah figur biasa. Putra dari Abu Bakar bin Sulaiman, khatib besar Masjid Kesultanan Yogyakarta, dan Siti Aminah, putri Haji Ibrahim bin Hasan, seorang penghulu keraton, memiliki garis keturunan yang terhubung dengan Wali Songo, khususnya Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik. Pendidikan agamanya dimulai sejak dini di bawah bimbingan sang ayah, kemudian dilanjutkan di pesantren. Kehausannya akan ilmu agama yang lebih mendalam membawanya menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, dibiayai oleh kakak iparnya, KH. Soleh, seorang kiai sekaligus saudagar kaya. Pada tahun 1903, di usia sekitar 34 tahun, ia kembali ke Mekkah untuk memperdalam pemahaman fiqih dan memperkuat tekadnya dalam membenahi umat Islam di Tanah Air.
Kiai Dahlan bukan hanya seorang ulama yang khusyuk beribadah, tetapi juga seorang aktivis yang terlibat aktif dalam berbagai organisasi pergerakan nasional pada masanya. Keikutsertaannya dalam Budi Oetomo, Jami’at Chair, dan Sarikat Islam menunjukkan komitmennya terhadap kemajuan bangsa. Namun, keinginan kuatnya untuk mendirikan Muhammadiyah tak luput dari berbagai tantangan dan pertentangan.
Pendirian Muhammadiyah bukanlah jalan yang mulus. Kiai Dahlan menghadapi resistensi dari berbagai kalangan, termasuk keluarga dan masyarakat sekitar. Buku "Riwayat Hidup K.H.A Dahlan: Amal dan Perdjoangannja" karya Junus Salam mencatat berbagai fitnah dan tuduhan yang dilontarkan kepada beliau. Tuduhan paling berat adalah pengembangan ajaran baru yang menyimpang dari ajaran Islam.
Konteks sosial keagamaan pada masa itu menjadi latar belakang penting untuk memahami tuduhan tersebut. Umat Islam saat itu tengah dilanda berbagai krisis. Praktik keagamaan yang menyimpang dari Al-Qur’an dan Hadits, seperti bid’ah, khurafat, dan syirik, merajalela. Kehidupan keagamaan yang kaku, terbelenggu oleh konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme, juga menjadi masalah yang cukup serius. Junus Salam dalam karyanya menggambarkan kondisi ini dengan gambaran umat Islam yang terjebak dalam fanatisme sempit, taqlid buta, dan pemikiran dogmatis.
Kondisi inilah yang mendorong Kiai Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah. Ia melihat perlunya sebuah gerakan pembaruan yang mengembalikan ajaran Islam kepada sumber aslinya, Al-Qur’an dan Sunnah, serta menghilangkan praktik-praktik keagamaan yang menyimpang. Muhammadiyah hadir sebagai respon terhadap stagnasi dan kemunduran yang terjadi dalam kehidupan keagamaan masyarakat Islam saat itu. Gerakan ini bertujuan untuk membersihkan akidah dan ibadah umat Islam dari unsur-unsur yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang benar.
Tuduhan pendirian agama baru, dalam konteks tersebut, dapat dipahami sebagai bentuk perlawanan terhadap upaya pembaruan yang dilakukan Kiai Dahlan. Bagi sebagian kalangan yang terbiasa dengan praktik keagamaan yang sudah mapan, upaya Kiai Dahlan untuk melakukan perubahan dan pemurnian ajaran Islam dianggap sebagai ancaman dan penyimpangan. Mereka mungkin melihat metode dakwah Kiai Dahlan yang lebih modern dan rasional sebagai sesuatu yang asing dan berbahaya.
Namun, Kiai Dahlan dengan tegas membantah tuduhan tersebut. Ia berpegang teguh pada ajaran Islam yang benar dan berupaya untuk menyebarkannya dengan cara yang bijak dan moderat. Muhammadiyah, sejak awal, didirikan dengan landasan aqidah Islam yang berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah. Organisasi ini tidak pernah mengklaim sebagai agama baru, melainkan sebagai gerakan pembaruan dalam Islam.
Perjuangan Kiai Dahlan dalam menghadapi berbagai tantangan dan tuduhan menunjukkan keteguhan beliau dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam yang benar. Ia tidak gentar menghadapi tekanan dan oposisi, tetap teguh pada prinsip dan tujuannya untuk memajukan umat Islam. Kiai Dahlan membuktikan bahwa pembaruan dalam Islam dapat dilakukan tanpa harus menyimpang dari ajaran inti agama.
Setelah 112 tahun, Muhammadiyah telah berkembang menjadi organisasi besar dengan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang tersebar luas di seluruh Indonesia. AUM berperan penting dalam memberikan kontribusi signifikan bagi kemajuan bangsa di berbagai bidang, terutama pendidikan, kesehatan, dan sosial. Keberhasilan Muhammadiyah menjadi bukti nyata bahwa gerakan pembaruan yang dilakukan Kiai Dahlan telah membuahkan hasil yang positif dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
Sejarah mencatat, tuduhan terhadap Kiai Dahlan sebagai pendiri agama baru merupakan bagian dari dinamika perjalanan Muhammadiyah. Tuduhan tersebut justru menjadi bukti betapa besarnya tantangan yang dihadapi Kiai Dahlan dalam memperjuangkan cita-citanya. Namun, dengan keteguhan dan kebijaksanaan, beliau berhasil mematahkan tuduhan tersebut dan membuktikan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang bertujuan untuk memajukan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Peringatan 112 tahun Muhammadiyah ini bukan hanya sekadar perayaan usia organisasi, tetapi juga momentum untuk merenungkan kembali perjuangan panjang Kiai Dahlan dan para pendahulunya. Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya keberanian dalam memperjuangkan kebenaran, kebijaksanaan dalam menghadapi perbedaan pendapat, dan keteguhan dalam menghadapi tantangan. Semoga semangat dan cita-cita Kiai Dahlan terus menginspirasi generasi penerus Muhammadiyah dalam melanjutkan perjuangan untuk memajukan umat dan bangsa. Semoga Muhammadiyah terus berkontribusi positif bagi Indonesia dan dunia.