Jakarta – Istighfar, lebih dari sekadar permohonan ampun, merupakan amalan spiritual yang sarat makna dan mampu membuka pintu keberkahan dalam kehidupan seorang muslim. Rasulullah SAW, teladan umat Islam, konsisten membaca istighfar hingga seratus kali setiap hari. Praktik ini bukanlah kebetulan semata; di baliknya tersimpan keutamaan luar biasa yang mampu menghadirkan ketenangan jiwa, kelapangan rezeki, dan penghapusan dosa. Sebagai manusia yang tak luput dari kesalahan dan dosa, bertaubat dan memohon ampun kepada Allah SWT merupakan kewajiban yang tak terbantahkan.
Istighfar: Makna dan Asal Usul
Kata "istighfar" berasal dari akar kata ghafara yang berarti "menutupi" atau "mengampuni." Secara istilah, istighfar dimaknai sebagai permohonan ampun kepada Allah SWT, Zat Yang Maha Pengampun. Sifat pengampunan Allah SWT, termaktub dalam Asmaul Husna seperti Ghafir, Ghaffar, dan Ghafur, semuanya berakar dari kata ghafara. Setiap kali kita mengucapkan "Astaghfirullahal ‘azhim," kita memohon pengampunan atas dosa, pemaafan atas kesalahan, dan penutupan atas aib kita, sesuai dengan makna inti kata ghafara. Hal ini selaras dengan firman Allah SWT dalam QS. An-Nashr (110):3: "Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya, Dia adalah Maha Penerima taubat."
Nabi Muhammad SAW sendiri menjadi contoh utama dalam hal istighfar dan taubat. Para sahabat sering menyaksikan beliau memohon ampun lebih dari seratus kali dalam satu kesempatan. Beberapa hadits bahkan menyebutkan Rasulullah SAW bertobat dan memohon ampun lebih dari 70 hingga 100 kali setiap hari. Muktafi, dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya, dalam laman resmi kampus tersebut, menjelaskan bahwa kebiasaan Nabi SAW beristighfar sebanyak 100 kali sehari semalam merupakan manifestasi ketaatan yang luar biasa.
Hadits riwayat Ibnu Umar RA memperkuat hal ini: "Wahai manusia, bertobatlah kalian kepada Allah SWT. Karena sesungguhnya aku (sendiri) bertobat kepada-Nya sebanyak 100 kali dalam sehari." (HR Ahmad [4/211] dan Muslim [2702]). Sebagai umat beliau yang jauh dari kesempurnaan dan kerap melakukan kesalahan, kita patut merenungkan keteladanan ini. Jika Rasulullah SAW yang telah diampuni dosa-dosanya saja begitu rajin bertobat, bagaimana seharusnya kita sebagai manusia biasa?
Lafal Istighfar yang Dianjurkan
Meniru bacaan istighfar Rasulullah SAW merupakan langkah sederhana untuk meneladani beliau. Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar mencantumkan lafal istighfar yang diamalkan Nabi SAW setiap hari, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA dalam Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah:
Arab: رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Latin: Rabbighfir lii watub ‘alayya, innaka anta t-Tawwabu r-Rahiim.
Artinya: "Ya Allah Tuhanku, ampunilah aku dan berikanlah tobat atasku, sungguh Engkau Maha Penerima tobat lagi Maha Pengasih."
Hadits ini dinilai hasan oleh Imam Tirmidzi.
Selain lafal di atas, Muktafi juga menyebutkan "Sayyidul Istighfar" sebagai bacaan istighfar yang utama:
Arab: اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوءُ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوءُ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ
Latin: Allahumma anta rabbi, la ilaha illa anta, khalaqtani wa ana ‘abduka, wa ana ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mastathoktu, a’udzu bika min syarri ma shona’tu, abu’u binikmatika ‘alayya, wa abu’u bidzanbi, faghfirli fainnahu la yaghfirudz-dzunuba illa anta.
Artinya: "Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada sesembahan yang hak kecuali Engkau. Engkau yang menciptakanku, sedang aku adalah hamba-Mu, dan aku di atas ikatan janji-Mu (yaitu selalu menjalankan amal ketaatan kepada-Mu) dengan semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari segala kejahatan yang aku perbuat. Aku mengakui atas nikmat-Mu terhadap diriku, dan aku mengakui dosa-ku pada-Mu, maka ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang bisa mengampuni segala dosa kecuali Engkau." (HR Bukhari)
Sayyidul Istighfar memiliki keutamaan yang sangat besar. Diyakini, siapa yang membacanya sebelum meninggal dunia akan mendapatkan husnul khatimah dan diampuni dosa-dosanya.
Waktu dan Cara Melakukan Istighfar
Praktik istighfar sangat mudah dilakukan. Ia dapat dibaca kapan saja dan di mana saja, baik duduk, berdiri, berbaring, menghadap kiblat maupun tidak. Namun, menghadap kiblat dalam keadaan normal tetap dianjurkan jika memungkinkan. Istighfar juga diperbolehkan dalam keadaan junub atau hadats, karena termasuk dzikir yang boleh dilakukan kapan saja, kecuali di tempat-tempat terlarang seperti toilet. Waktu terbaik untuk beristighfar adalah sepertiga malam terakhir (waktu sahur), sebagaimana tersirat dalam QS. Ali Imran (3):17.
Keutamaan Istighfar: Lebih dari Sekadar Pengampunan
Istighfar bukanlah sekadar ritual belaka, melainkan amalan yang sangat dianjurkan. Selain menghapus dosa, istighfar memiliki beragam keutamaan lain, seperti yang dijelaskan dalam buku Selalu Ada Jawaban Selama Mengikuti Akhlak Rasulullah oleh Dr. Muhbib Abdul Wahab, MA, dan berbagai hadits lainnya:
-
Mendekatkan Diri kepada Allah SWT: Istighfar menunjukkan kesadaran dan keteguhan hati dalam mengingat Allah SWT. Ia menjadi jembatan untuk meraih kasih sayang-Nya. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2):152: "Karena itu, ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu; dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku."
-
Dimudahkan dalam Segala Urusan: Istighfar merupakan kekuatan spiritual yang dahsyat. Di tengah kompleksitas kehidupan, istighfar memohon jalan keluar terbaik dari Allah SWT. Rasulullah SAW menjamin kemudahan hidup bagi mereka yang membiasakan istighfar. Hadits riwayat Abu Daud menyebutkan: "Barangsiapa membiasakan istighfar maka Allah selalu memberikan jalan keluar bagi setiap kesempitan hidupnya, memberikan kemudahan bagi setiap kesulitannya, dan memberinya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka."
-
Terhindar dari Murka dan Azab Allah: Istighfar menghapus dosa, menutupi kekurangan ibadah, dan memohon ampun atas perbuatan yang melanggar syariat. Ia menjauhkan dari kemurkaan dan siksa Allah SWT. Bahkan, Allah SWT murka kepada mereka yang enggan memohon ampun. Pengampunan Allah SWT menandakan lenyapnya murka-Nya. QS. Al-Anfal (8):33 menegaskan: "Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedangkan mereka meminta ampun."
-
Perisai dari Godaan Setan: Istighfar efektif menghindari bisikan dan rayuan setan. Istighfar yang tulus dan khusyuk membersihkan hati dan menjauhkan setan. Ibnul Qayyim Al-Jauziy menyatakan bahwa setan membinasakan manusia dengan dosa, namun istighfar dan kalimat tauhid menjadi penangkalnya.
-
Mengikuti Amalan Para Nabi dan Rasul: Para nabi dan rasul, meskipun maksum, tetap beristighfar. QS. Al-A’raf (7):23 menjadi contoh: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri sendiri, jika Engkau tidak mengampuni dan menyayangi kami niscaya kami tergolong orang-orang yang merugi." Kisah Nabi Yunus AS yang ditelan ikan besar dan diselamatkan karena istighfarnya juga menjadi bukti nyata.
Kesimpulannya, istighfar merupakan amalan fundamental dalam Islam. Ia bukan hanya permohonan ampun, tetapi juga sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, meraih keberkahan, dan menjalani kehidupan yang lebih tenang dan penuh rahmat. Meneladani Rasulullah SAW dengan membiasakan istighfar, khususnya dengan lafal-lafal yang telah diriwayatkan, merupakan langkah bijak untuk meraih ampunan dan ridho Allah SWT.